DPR Disabotase: Surat Pemakzulan Gibran Tidak Dibacakan

DPR Disabotase: Surat Pemakzulan Gibran Tidak Dibacakan
Feri Amsari dalam diskusi publik Abraham Samad Speak Up berbicara mengenai isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, dalam program Abraham Samad Speak Up membahas surat pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. (Tangkapan layar YouTube Abraham Samad Speak Up)

Jakarta, 30 Juni 2025 – Dalam sebuah diskusi publik bertajuk Abraham Samad Speak Up, kembali mencuat isu penting seputar pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam acara ini, hadir Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, yang turut menyampaikan berbagai pandangan kritis terkait dinamika hukum dan politik yang sedang berlangsung.

Feri Amsari menjelaskan bahwa terdapat cukup banyak bukti logis yang menunjukkan adanya hubungan antara akun kontroversial “Fufu Fafa” dengan Wakil Presiden saat ini. Dugaan ini, menurutnya, tidak bisa dianggap sepele. Ia menekankan bahwa keterkaitan tersebut harus diselidiki secara terbuka, jujur, dan menyeluruh.

“Ini tidak bisa dipandang ringan,” ujar Feri. Ia menggarisbawahi bahwa, mengingat posisi Wakil Presiden yang saat ini tidak berasal dari partai politik manapun, maka seharusnya proses klarifikasinya justru dapat dilakukan dengan lebih objektif dan efisien, tanpa tekanan partai.

Dalam diskusi itu, Feri juga menyoroti sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hingga kini belum menunjukkan langkah konkret pasca menerima surat dari para purnawirawan TNI-Polri yang mengusulkan pemakzulan Wakil Presiden. Surat tersebut, menurutnya, adalah sinyal politik dan hukum yang sangat serius.

"Harusnya DPR memanggil para purnawirawan itu. Ini bukan orang biasa, tapi tokoh-tokoh yang pernah mengabdi dan melindungi republik ini. Mengapa suara mereka tidak dipertimbangkan secara serius?” ujarnya.

Baca Juga:

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa jika DPR menilai argumentasi para purnawirawan tersebut cukup kuat, maka lembaga legislatif itu harus menindaklanjutinya. Proses ini harus dimulai dari pengajuan usulan resmi, yang ditandatangani oleh minimal 25 anggota DPR. Setelah itu, usulan tersebut harus dibawa ke Sidang Paripurna DPR untuk dibahas dan disahkan sebagai usulan resmi lembaga.

Merujuk pada Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945, Feri menyatakan bahwa setelah DPR menyetujui usulan pemberhentian, proses selanjutnya akan berpindah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di sana, MK akan menilai apakah Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat konstitusional. Ini mencakup aspek administratif maupun moral.

Dalam acara yang sama, Abraham Samad bertanya kepada Feri tentang tantangan realitas politik di balik mekanisme ini, khususnya mengenai persyaratan kuorum dan persetujuan di DPR. Untuk meloloskan pemakzulan, setidaknya dibutuhkan 2/3 dari total anggota DPR hadir, dan 2/3 dari anggota yang hadir harus memberikan persetujuan.

Menanggapi hal itu, Feri mengatakan bahwa semua tergantung dari sudut pandang. "Kalau melihat dari kacamata satu partai oposisi, memang berat. Tapi mari lihat realitanya: Wapres ini tidak memiliki basis politik yang kuat di parlemen. Bahkan saudaranya yang sebelumnya aktif dalam politik juga tidak memiliki fraksi. Jadi secara kalkulasi politik, justru partai-partai bisa mendapat keuntungan bila posisi Wapres lowong dan mereka bisa mengusulkan calon baru," jelasnya.

Salah satu isu utama dalam surat pemakzulan adalah dugaan perbuatan tercela yang dilakukan oleh Wapres, khususnya terkait dengan akun media sosial bernama “Fufu Fafa” yang berisi unggahan-unggahan yang tidak pantas. Bung Feri menegaskan bahwa jika terbukti akun tersebut dimiliki dan dikelola oleh Wapres, maka ini masuk dalam kategori perbuatan tercela yang melanggar etika publik dan moral bangsa.

Ia juga menyoroti bahwa DPR berkewajiban untuk memverifikasi kebenaran atas kepemilikan akun tersebut. Ketika DPR mengabaikan isu ini, maka mereka gagal menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam undang-undang.

“Mas Roy Suryo itu punya analisis teknis yang bisa dipertanggungjawabkan. DPR seharusnya memanggil beliau untuk memberikan keterangan,” ujar Feri.

Selain soal akun, Feri juga menyinggung beredarnya video lama Wapres yang menunjukkan ucapan tidak pantas mengenai tubuh perempuan. Ia menyebut bahwa video itu memenuhi definisi perbuatan tercela menurut nilai-nilai agama, adat, dan moral masyarakat Indonesia.

Feri menambahkan bahwa seorang pejabat publik, apalagi presiden dan wakil presiden, tidak boleh berbohong. Ia mencontohkan kasus mantan Presiden AS, Bill Clinton, yang dikenakan pemakzulan bukan karena perbuatannya, tetapi karena kebohongannya terhadap publik.

Menurutnya, ini bukan lagi soal siapa suka siapa, tetapi menyangkut integritas jabatan publik dan kepercayaan rakyat. Kebohongan yang terjadi saat sudah menjabat menjadi bukti bahwa pelanggaran etika tersebut berdampak langsung terhadap legitimasi pemerintahan.

Dalam kesempatan itu, Feri juga menguraikan bahwa upaya pemakzulan harus memenuhi dua elemen utama: pelanggaran hukum dan ketidaksesuaian syarat. Misalnya, dugaan manipulasi putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran dinilai sebagai pelanggaran etis dan prosedural.

Selain itu, ada syarat usia minimum 40 tahun bagi capres-cawapres yang sebelumnya menjadi kontroversi dan memicu polemik nasional. Ketidakjelasan rekam jejak pendidikan juga sempat menjadi sorotan masyarakat.

“DPR tidak bisa diam. Ini adalah momen untuk membuktikan bahwa mereka berpihak pada konstitusi, bukan pada kekuasaan,” ujar Feri.

Menutup diskusi, Abraham Samad menyinggung isu sensitif terkait hubungan Wapres Gibran dengan Presiden sebelumnya, Joko Widodo, yang tidak sedikit pihak menilai masih memiliki pengaruh kuat dalam peta kekuasaan nasional.

Feri mengakui hal itu. “Iya, Jokowi masih sangat aktif. Bahkan kabarnya, urusan tambang dan konsesi-konsesi besar pun masih berkaitan dengan beliau. Jadi ini memang menjadi tantangan bagi DPR: apakah mereka tunduk pada kekuasaan, atau tetap setia pada konstitusi?”

Pernyataan ini menegaskan bahwa keberanian politik DPR dalam menindaklanjuti surat pemakzulan merupakan ujian konstitusional yang sesungguhnya. Apakah DPR akan berdiri sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, atau justru menjadi lembaga yang membiarkan pelanggaran konstitusi terjadi demi kenyamanan politik?

Kontroversi seputar Wakil Presiden Gibran Rakabuming bukan sekadar soal pribadi, tetapi menyangkut kualitas demokrasi, penegakan hukum, serta integritas lembaga negara. Dengan berbagai temuan, dugaan, dan kesaksian yang telah muncul ke publik, sudah seharusnya DPR tidak tinggal diam.

Surat pemakzulan dari para purnawirawan bukanlah lelucon. Mereka adalah tokoh-tokoh yang pernah mempertaruhkan nyawa demi republik ini. Jika suara mereka pun tidak didengarkan, maka kepada siapa lagi rakyat bisa berharap?

Kini bola ada di tangan DPR. Apakah mereka akan membaca surat itu di ruang paripurna dan menindaklanjutinya sesuai mekanisme konstitusi, ataukah surat itu akan dibiarkan mengendap dalam diam, tersabotase oleh kepentingan?

Waktu akan menjadi saksi, apakah DPR benar-benar mewakili rakyat, atau sekadar menjadi penonton dalam drama politik kekuasaan.

Belum ada Komentar untuk "DPR Disabotase: Surat Pemakzulan Gibran Tidak Dibacakan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel