Netanyahu: Rezim Iran Harus Diganti untuk Akhiri Puluhan Tahun Konflik
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memegangi kepalanya di depan latar kehancuran kota akibat konflik, dengan kutipan pernyataan keras soal Iran.
Netanyahu menyatakan bahwa rezim Iran harus diganti sebagai upaya mengakhiri konflik panjang di Timur Tengah. Pernyataan ini menimbulkan perdebatan luas di kalangan internasional. (Foto: Kolase Amsor TV)

Tel Aviv - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengeluarkan pernyataan kontroversial dalam sebuah wawancara eksklusif dengan jaringan televisi Amerika, ABC News, dengan menyatakan bahwa pembunuhan terhadap Pemimpin Tertinggi Iran tidak akan memperburuk situasi geopolitik di kawasan, melainkan justru akan meredakan konflik berkepanjangan yang selama ini dipicu oleh tindakan agresif Teheran.

Komentar tersebut memicu gelombang tanggapan dari para analis politik, diplomat, dan jurnalis yang melihat pernyataan tersebut sebagai cerminan dari strategi Israel yang semakin terbuka dalam menghadapi Iran, musuh bebuyutan yang selama ini terus menjadi pusat ketegangan di Timur Tengah.

“Itu tidak akan meningkatkan konflik. Ini akan mengakhiri konflik,” kata Netanyahu kepada ABC News.

Netanyahu: Konflik Ini Sudah Berlangsung Setengah Abad

Netanyahu menggambarkan Iran sebagai dalang utama di balik berbagai ketegangan di Timur Tengah, menuduh rezim Teheran bertanggung jawab atas serangkaian aksi terorisme, sabotase, dan subversi di seluruh kawasan.

“Kita sudah mengalami konflik selama setengah abad yang disebarkan oleh rezim ini. Mereka meneror semua orang di Timur Tengah, telah mengebom ladang minyak Aramco di Arab Saudi, menyebarkan terorisme dan sabotase di mana-mana. Itulah perang abadi yang diinginkan Iran,” tegas Netanyahu.

Pernyataan ini muncul di tengah laporan bahwa Uni Eropa dan Israel pernah memiliki peluang untuk “menyingkirkan” Pemimpin Tertinggi Iran, namun rencana tersebut ditolak oleh Presiden Amerika Serikat karena khawatir akan eskalasi konflik.

Menurut Netanyahu, ketakutan bahwa aksi tersebut akan memperburuk konflik justru tidak berdasar.

“Pemahaman saya adalah bahwa kekhawatiran itu justru berlebihan. Justru ini akan menghentikan konflik, bukan meningkatkannya,” ujarnya.

Gideon Levy: Israel Bermimpi Mengganti Rezim Iran

Untuk menanggapi pernyataan Netanyahu, ABC News mewawancarai kolumnis senior surat kabar Haaretz, Gideon Levy, yang menyatakan bahwa retorika Netanyahu mencerminkan ambisi tersembunyi Israel untuk menggulingkan pemerintahan Iran.

“Perubahan rezim adalah mimpi basah Israel. Seperti mimpi basah Amerika di Vietnam, di Afghanistan. Seperti mimpi basah Israel di Gaza dan Lebanon. Tapi itu tidak pernah berhasil, dan kali ini juga tidak akan berhasil,” ujar Levy dengan nada skeptis.

Levy menyebutkan bahwa kedua pihak — Israel dan Iran — kini sudah berada pada posisi yang tidak memungkinkan untuk mengakhiri konflik secara internal. Ia menilai bahwa tekanan eksternal, terutama dari Amerika Serikat, diperlukan untuk mencapai deeskalasi yang nyata.

“Kedua belah pihak saat ini tidak mampu menghentikan perang ini. Mereka membutuhkan pengaruh asing, dan Amerika tampaknya cukup pasif,” katanya.

Donald Trump dan Dinamika Diplomasi Amerika

Levy juga menyoroti peran mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menurutnya tampak tidak menunjukkan urgensi dalam merespons eskalasi konflik yang terjadi.

Meskipun Trump sempat menyatakan bahwa Iran memiliki pilihan untuk membuat kesepakatan di awal serangan, Levy menilai bahwa pendekatan diplomasi Trump lebih diarahkan pada keuntungan politik domestik daripada solusi damai jangka panjang.

“Iran tidak akan kembali ke meja perundingan jika tawarannya tidak masuk akal. Mereka tidak akan mempermalukan diri sendiri. Kehormatan nasional sangat penting bagi mereka,” jelas Levy.

Apakah Israel Ingin Menjadi Pemain Tunggal Berkekuatan Nuklir?

Diskusi juga berkembang mengenai kemungkinan Israel mencoba mempertahankan status sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir. Meski Israel secara resmi tidak pernah mengakui kepemilikan senjata nuklir, banyak pengamat internasional percaya bahwa Israel sudah lama memilikinya secara rahasia.

“Saat ini, AS adalah negara pemilik senjata nuklir, begitu juga Iran tengah menuju ke arah itu. Israel ingin menjadi satu-satunya, dan meskipun mereka mengatakan bahwa serangan ditujukan untuk menghentikan program nuklir, pada kenyataannya mereka juga menginginkan pergantian rezim,” ujar Levy.

Ia menilai bahwa keinginan tersebut bukan hanya didorong oleh keamanan nasional, tetapi juga oleh agenda jangka panjang untuk mengkonsolidasikan pengaruh Israel di kawasan dan mendorong proses normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab.

Netanyahu dan Obsesi terhadap Iran

Dalam konteks domestik, banyak pengamat menilai bahwa kebijakan keras Netanyahu terhadap Iran merupakan bagian dari proyek hidup politiknya. Ia telah mengampanyekan isu ancaman Iran selama lebih dari dua dekade dan menjadikannya sebagai pilar utama dalam narasi politiknya, baik di panggung internasional maupun dalam politik dalam negeri Israel.

“Itulah proyek hidupnya. Itulah yang membuatnya terkenal. Dia berjuang untuk mencegah Iran memiliki senjata nuklir selama beberapa dekade,” ujar Levy.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa meskipun tujuannya mungkin tampak rasional dari perspektif Israel, cara untuk mencapainya — melalui perubahan rezim — hampir mustahil dan sangat berisiko.

“Faktanya adalah bahwa satu-satunya cara untuk mencegah Iran memiliki senjata nuklir adalah dengan mengubah rezim. Tetapi menurut saya, tujuan ini tidak dapat tercapai,” katanya.

Kebutuhan Akan Solusi Diplomatik dan Pengaruh Global

Situasi geopolitik antara Israel dan Iran kini berada di titik kritis. Di satu sisi, Israel merasa terancam oleh perkembangan program nuklir Iran, sementara di sisi lain, Iran melihat upaya Israel sebagai bentuk agresi yang melewati batas.

Tanpa adanya peran aktif dari kekuatan global seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, konflik ini dikhawatirkan akan terus bereskalasi, tidak hanya antara dua negara, tetapi juga melibatkan negara-negara tetangga dan aliansi militer masing-masing.

“Perang ini tidak hanya akan berlanjut, tetapi juga meningkat,” kata Levy memperingatkan.

Penutup

Pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa pembunuhan Pemimpin Tertinggi Iran akan mengakhiri konflik dan bukan memperburuknya menunjukkan semakin kerasnya pendekatan Israel terhadap ancaman yang mereka anggap eksistensial. Namun, pernyataan tersebut juga membuka perdebatan luas mengenai efektivitas strategi tersebut, dampaknya terhadap stabilitas kawasan, dan apakah itu benar-benar demi kepentingan perdamaian atau agenda politik semata.

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, jalan menuju penyelesaian damai memerlukan lebih dari sekadar retorika keras — diperlukan dialog, kompromi, dan kemauan politik dari semua pihak.


Penulis: Tim Redaksi Amsor TV
Editor: Amsor
Sumber: ABC News, Haaretz, Wawancara Eksklusif