
London
Pemerintah Inggris memutuskan untuk meningkatkan anggaran pertahanan secara signifikan sebagai respons terhadap dinamika geopolitik global yang semakin tak menentu. Namun, langkah ini memicu protes besar dari publik, lantaran dana tambahan tersebut diambil dengan memangkas program kesejahteraan sosial. Inggris kini berada dalam dilema strategis: memperkuat pertahanan nasional di bawah tekanan NATO dan Amerika Serikat, atau mempertahankan kepercayaan rakyat di tengah krisis biaya hidup.
Seperti dilaporkan Al Jazeera English dalam tayangan berjudul "What are the threats facing Europe? | Inside Story", ribuan warga memenuhi jalanan London sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pemotongan kesejahteraan sosial. Para demonstran menilai bahwa kebijakan ini mencerminkan prioritas pemerintah yang tidak adil dan hanya menguntungkan industri militer serta kelompok elit kaya. Mereka menuntut alternatif kebijakan seperti menaikkan pajak untuk orang-orang superkaya dibanding mengorbankan hak-hak rakyat miskin dan rentan.
Reformasi Pertahanan Inggris: Investasi atau Pengabaian Sosial?
Perdana Menteri Keir Starmer mengumumkan rencana ambisius dalam reformasi pertahanan, termasuk pembangunan enam pabrik amunisi baru, pengembangan armada maritim hybrid yang memadukan kapal perang, drone, hingga pesawat tempur berteknologi tinggi, serta investasi senilai $20 miliar untuk program senjata nuklir. Dalam jangka menengah, Inggris menargetkan pengeluaran militer sebesar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2027, dan mencapai 3% pada awal dekade 2030-an.
Menurut pemerintah, kebijakan ini bukan hanya strategi keamanan, tetapi juga bentuk investasi jangka panjang yang akan menciptakan lapangan kerja dan menjaga stabilitas nasional. Namun, retorika tersebut tak mampu menenangkan publik yang geram akibat pemotongan tunjangan disabilitas, bantuan musim dingin bagi lansia, hingga kebijakan pembatasan jumlah anak yang menerima tunjangan.
Kelompok wanita Waspy (Women Against State Pension Inequality) yang dirugikan oleh perubahan usia pensiun juga tidak mendapatkan kompensasi. Keputusan ini memperdalam jurang ketidakpuasan sosial, terutama di kalangan pekerja kelas bawah dan komunitas rentan lainnya.
Pandangan Terbelah: Keamanan Nasional vs Keadilan Sosial
Dalam diskusi panel yang diselenggarakan Al Jazeera English, perbedaan pandangan antar narasumber mencerminkan konflik ideologis yang tengah terjadi di Inggris dan Eropa.
Paul Beaver, analis pertahanan senior, berpendapat bahwa “Inggris tidak punya pilihan lain selain menaikkan anggaran pertahanan.” Ia menekankan bahwa dunia tengah menghadapi ancaman nyata dari Rusia, Tiongkok, Korea Utara, dan Iran. “Jika kita ingin mempertahankan stabilitas sosial dan kedaulatan nasional, maka pertahanan harus jadi prioritas,” tegasnya.
Pendapat serupa disampaikan oleh Aaron Gash Bernett, analis politik dari Berlin, yang mengingatkan bahwa penundaan dalam penguatan militer justru bisa berakibat lebih mahal di masa depan. “Lihat sejarah. Ketika kita terlalu lama menunda kesiapan militer, kita membayar harga yang jauh lebih tinggi ketika konflik benar-benar meletus,” ujarnya.
Baca Juga
Namun, suara berbeda datang dari Jeremy Corbyn, mantan pemimpin Partai Buruh, yang mengkritik tajam arah kebijakan ini. Dalam wawancaranya bersama Al Jazeera, Corbyn menyatakan, “Saat kemiskinan meningkat, ketika banyak orang tidak punya cukup makanan dan tempat tinggal yang layak, mengapa kita terus menambah anggaran untuk senjata?”
Ia juga mengkritik rencana pengembangan hulu ledak nuklir yang dinilainya melanggar Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Corbyn menegaskan bahwa “pengeluaran militer tidak akan membawa kita pada dunia yang aman dan damai. Kita harus kembali ke meja diplomasi.”
NATO Tanpa AS: Mampukah Eropa Berdiri Sendiri?
Di tengah meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat, muncul pertanyaan krusial: bisakah negara-negara Eropa, termasuk Inggris, bertahan secara militer tanpa dukungan penuh dari Washington?
Presiden Donald Trump, yang diperkirakan akan mencalonkan diri kembali, telah mendorong anggota NATO untuk mengalokasikan minimal 5% dari PDB mereka untuk anggaran militer—angka yang bahkan belum dicapai oleh AS sendiri. Tekanan ini diperkirakan akan semakin besar dalam KTT NATO di Den Haag, Juni 2025 mendatang.
Namun, seperti dijelaskan oleh Aaron Gash Bernett, ketergantungan Eropa terhadap teknologi dan logistik militer AS masih sangat tinggi. “Mulai dari rudal presisi hingga sistem pertahanan udara, sebagian besar infrastruktur kita terhubung ke Amerika,” katanya. “Jika kita ingin mandiri, kita butuh investasi besar—bukan hanya dalam senjata, tapi juga dalam kemampuan produksi dan strategi politik.”
Paul Beaver menambahkan bahwa dalam skenario ideal, Eropa akan membentuk blok pertahanan independen yang kuat, namun saat ini hal itu masih jauh dari kenyataan. “Tanpa AS, NATO adalah harimau tanpa taring,” katanya blak-blakan.
Implikasi Demokratis dan Sosial
Jeremy Corbyn tak hanya mengkritik anggaran militer, tapi juga mempertanyakan legitimasi politik dari kebijakan ini. Ia menyebut bahwa belanja militer global yang kini mencapai $2,7 triliun per tahun menjadi bukti kegagalan diplomasi dunia. “Apa hasil dari semua ini? Dunia yang lebih aman? Tidak. Kita justru melihat lebih banyak perang, lebih banyak penderitaan,” tegasnya.
Corbyn mendesak pemerintah-pemerintah dunia untuk memprioritaskan gencatan senjata, baik di Ukraina maupun Gaza. Ia menilai bahwa krisis kemanusiaan tidak akan selesai dengan misil, tetapi dengan komitmen terhadap keadilan sosial dan upaya damai yang nyata.
“Pertanyaan kita seharusnya bukan berapa tank yang bisa kita beli, tapi berapa keluarga yang bisa kita selamatkan dari kemiskinan,” pungkasnya dalam tayangan Al Jazeera.
Penutup: Antara Rudal dan Roti
Kebijakan pertahanan Inggris saat ini adalah gambaran dari dilema besar yang dihadapi banyak negara NATO: memilih antara menjaga kekuatan militer atau melindungi kesejahteraan rakyat. Di satu sisi, dunia sedang berubah cepat—konflik bersenjata, ancaman siber, dan perlombaan senjata membuat kesiapan militer tampak sebagai keharusan. Namun di sisi lain, publik yang sudah lelah dengan inflasi dan kesenjangan sosial menuntut pemulihan yang lebih manusiawi.
Pertanyaan fundamental pun terus bergema: apakah benar keamanan hanya bisa dicapai dengan memperkuat senjata? Atau justru, keamanan sejati berasal dari masyarakat yang sehat, adil, dan terjamin secara ekonomi?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah kebijakan Eropa dalam satu dekade ke depan. Karena pada akhirnya, pilihan antara rudal dan roti bukan hanya persoalan anggaran—tetapi tentang masa depan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan.
Sumber
Kanal YouTube Al Jazeera English, episode "What are the threats facing Europe? | Inside Story" (2025) – www.youtube.com/aljazeeraenglish
Tidak ada komentar
Posting Komentar