
Di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk di Haiti, Republik Dominika justru mempercepat kebijakan deportasi terhadap migran asal negara tetangganya itu. Sejak Oktober 2024, pemerintah Dominika mengirim pulang hingga 10.000 orang Haiti setiap minggu, termasuk anak-anak dan individu yang telah lama tinggal di wilayah Dominika, bahkan mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di Haiti.
Langkah ini memicu sorotan internasional dan memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa, dalam situasi yang begitu genting, Republik Dominika memilih untuk mengusir para migran Haiti secara massal dan sistematis?
Baca Juga: Perang Dagang Amerika, Cina, dan Rusia: Perebutan Dominasi Ekonomi Global
Kebijakan Kontroversial Pemerintah Abinader
Kebijakan deportasi diumumkan langsung oleh Presiden Luis Abinader, pemimpin konservatif yang dikenal sebagai sekutu mantan Presiden AS Donald Trump. Dalam pidato nasionalnya, Abinader menekankan bahwa negaranya "tidak bisa menanggung beban krisis negara tetangga", dan bahwa setiap negara berhak menegakkan hukum imigrasinya.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa yang dikejar bukan hanya imigran gelap atau pelanggar hukum, melainkan juga orang-orang yang telah tinggal secara turun-temurun, bekerja, membayar pajak, dan membentuk bagian dari kehidupan sosial dan ekonomi Republik Dominika.
Menurut laporan dokumenter Nowhere to Belong yang ditayangkan oleh Al-Jazeera English, deportasi ini menyasar siapa saja yang "tampak seperti orang Haiti". Dalam film tersebut, jurnalis investigatif Natasha Del Toro menggambarkan pemandangan memilukan di perbatasan Belladère, Haiti: bus penuh manusia diturunkan begitu saja, tanpa makanan, uang, atau alas kaki, termasuk bayi dan perempuan hamil.
Kekerasan dalam Penangkapan
Kebijakan deportasi bukan hanya soal pengusiran, tetapi juga menyangkut cara penegakannya. Dalam banyak kasus, penangkapan terhadap migran dilakukan secara paksa dan tanpa proses hukum yang layak. Orang-orang diciduk di jalan saat hendak pergi bekerja, ditangkap ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dikejar dan dijatuhkan dari atap, sebagaimana dilaporkan oleh Del Toro dalam dokumenternya.
Migran yang tertangkap dikirim ke pusat penahanan yang kondisinya jauh dari kata layak. Mereka harus berbagi ruang sempit, tanpa sanitasi memadai, makanan yang buruk, dan akses terbatas ke layanan medis. Beberapa laporan menyebutkan adanya pemukulan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Kelompok HAM internasional, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, menyebut tindakan ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement, yaitu larangan mengembalikan seseorang ke negara di mana ia berisiko menghadapi penganiayaan atau bahaya serius.
Haiti: Negara dalam Kekosongan dan Kekacauan
Situasi di Haiti sendiri jauh dari kata aman. Sejak pembunuhan Presiden Jovenel Moïse pada Juli 2021, negara ini tidak memiliki pemerintahan yang efektif. Kekosongan kekuasaan dimanfaatkan oleh puluhan geng bersenjata yang kini menguasai sebagian besar wilayah ibu kota, Port-au-Prince.
Geng-geng tersebut kerap terlibat dalam pemerkosaan massal, penculikan, pembunuhan, dan pembakaran rumah warga. PBB melaporkan bahwa hampir setengah penduduk Haiti hidup dalam kondisi rawan pangan ekstrem, dengan lebih dari 300.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka akibat kekerasan.
Bagi banyak warga Haiti, melintasi perbatasan ke Republik Dominika adalah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan, mereka justru dihadapkan pada represi dan penolakan.
Generasi Tanpa Kewarganegaraan
Deportasi massal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang diskriminasi terhadap etnis Haiti di Republik Dominika. Pada 2013, Mahkamah Konstitusi Dominika mengeluarkan keputusan kontroversial yang mencabut kewarganegaraan dari anak-anak yang lahir di Dominika dari orang tua migran Haiti tanpa dokumen, bahkan jika mereka lahir puluhan tahun sebelumnya.
Keputusan ini diterapkan secara retroaktif hingga tahun 1929, menjadikan puluhan ribu orang stateless—tidak diakui sebagai warga negara mana pun. Mereka kehilangan hak dasar seperti pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan formal, hingga kebebasan bergerak.
Human Rights Watch menyebut kebijakan ini sebagai bentuk apartheid legal yang menciptakan “kelas bawah permanen” di dalam negara.
Diskriminasi Rasial yang Terstruktur
Dalam dokumenter Nowhere to Belong, seorang petugas imigrasi Dominika terang-terangan menyatakan bahwa ia bisa mengenali orang Haiti dari "warna kulit, bentuk kepala, dan warna buku jari mereka." Pernyataan ini mencerminkan rasisme sistemik yang masih hidup di masyarakat Dominika, meskipun secara historis kedua bangsa tersebut memiliki akar budaya dan sejarah yang saling terkait.
Narasi nasionalis kanan jauh turut memperkuat diskriminasi ini. Warga Haiti sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap identitas nasional Dominika. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dominika terlihat ramah dan terbuka, politik identitas telah menciptakan jurang sosial yang dalam antara dua kelompok etnis ini.
Ironisnya, ekonomi Republik Dominika selama bertahun-tahun bergantung pada tenaga kerja migran Haiti, terutama di sektor-sektor yang tidak diminati warga lokal—seperti pertanian tebu, pembangunan, dan pekerjaan rumah tangga. Mereka adalah roda penggerak yang tersembunyi di balik pertumbuhan ekonomi negara, namun kerap diperlakukan tanpa pengakuan atau penghargaan.
Pembelaan Pemerintah, Tekanan Internasional
Pemerintah Dominika membela diri dengan menyatakan bahwa negara mereka berhak mengatur arus migrasi dan menjaga keamanan nasional. Menteri Luar Negeri Roberto Álvarez dalam wawancara dengan media menegaskan bahwa “Republik Dominika bukan panti asuhan” dan menolak tudingan bahwa kebijakan tersebut tidak manusiawi.
Namun, banyak pihak menilai bahwa retorika ini mengabaikan tanggung jawab moral dalam menghadapi krisis kemanusiaan di perbatasan. Lembaga internasional, termasuk PBB dan Komisi HAM Inter-Amerika, terus menyerukan agar deportasi dihentikan dan solusi jangka panjang dicari bersama—baik melalui diplomasi regional maupun bantuan kemanusiaan terkoordinasi.
Sementara itu, film Nowhere to Belong yang disiarkan oleh Al-Jazeera English menuai kritik dari kelompok nasionalis Dominika yang menyebutnya sebagai “propaganda anti-Dominika.” Namun dokumentasi visual dalam film tersebut memperlihatkan kondisi lapangan yang nyaris tak terbantahkan—dari anak-anak yang menangis karena dipisahkan dari orang tua mereka, hingga warga yang tidur di jalanan tanpa tahu ke mana harus pergi.
Di Tengah Kekerasan, Dimana Letak Empati?
“Apa yang akan kita lakukan jika kita berada di posisi mereka?”
Pertanyaan ini mencerminkan esensi dari krisis yang sedang berlangsung—bahwa ini bukan hanya soal kebijakan atau batas negara, melainkan soal kemanusiaan.
Para migran Haiti bukan sekadar angka dalam laporan imigrasi. Mereka adalah individu dengan mimpi, keluarga, dan sejarah. Namun, di tengah konflik identitas, nasionalisme, dan kekacauan regional, mereka menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.
Ketika negara membatasi belas kasih hanya untuk warga yang "sah", maka korban pertama adalah nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Dan saat dunia menyaksikan dari kejauhan tanpa bertindak, pertanyaannya bukan lagi tentang siapa yang bersalah—melainkan, apakah kita masih punya empati?
Sumber Video: Al Jazeera English di YouTube, ditayangkan pada hari Jumat, 6 Juni 2025
Tidak ada komentar
Posting Komentar