Delegasi Indonesia dan pejabat Amerika dalam forum diplomasi perdagangan
Delegasi Indonesia dan pejabat Amerika Serikat berdiskusi dalam suasana diplomatik resmi, membahas isu tarif dan akses pasar.

Jakarta – Sabtu, 10 Mei 2025,Dalam dunia diplomasi ekonomi, sikap dan respons negara mitra sangatlah krusial. Kali ini, hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat menampilkan sebuah kontras mencolok bila dibandingkan dengan perlakuan AS terhadap Tiongkok. Seperti permainan masa kecil di mana siapa yang berkedip duluan kalah, dalam perang tarif ini, Amerika justru ‘kedip’ terlebih dahulu kepada Tiongkok. Namun terhadap Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya — tatapan tajam penuh tekanan dan kenaikan tarif hingga 47%.

Amerika dan Tiongkok: Siapa yang Menang Tarik-Ulur?

Di awal tahun 2025, ekonomi Amerika menunjukkan penurunan sebesar 0,3% dalam kuartal pertama. Sebagai Presiden yang mengedepankan stabilitas ekonomi domestik, Donald Trump mengambil langkah pragmatis: menurunkan tensi dengan Tiongkok. Bisa dikatakan, Amerika memilih ‘kedip’ terlebih dahulu — sebuah sinyal bahwa perang tarif yang terlalu lama berisiko menghantam balik ekonomi AS sendiri.

Namun menariknya, pendekatan ini tidak diberlakukan kepada Indonesia. Padahal, Indonesia datang bukan membawa ancaman, tetapi niat baik, dengan folder goodwill dan proposal skema imbal beli. Sayangnya, semua itu tidak berarti apa-apa dalam ruang negosiasi yang dipenuhi agenda keras Amerika.

Delegasi Indonesia: Datang Membawa Salam, Pulang Membawa Tarif

Bayangkan skenario ini: sebuah delegasi diplomatik Indonesia melangkah masuk ke ruang perundingan di Washington dengan harapan mulia. Mereka mengenakan setelan formal, membawa statistik ekonomi, dan presentasi PowerPoint yang penuh optimisme. Namun yang mereka temui bukanlah mitra, melainkan algojo kebijakan perdagangan yang tanpa basa-basi mengetok palu tarif baru — dari 32% menjadi 47%.

Tidak hanya soal barang dan jasa, tekanan pun merambah ke sektor sistem pembayaran digital domestik. Amerika menyoroti dua instrumen strategis Indonesia: CURIS dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional), yang dianggap membatasi akses raksasa pembayaran asing seperti Visa dan Mastercard. Ini bukan hanya perang dagang, melainkan tekanan terhadap kedaulatan finansial digital Indonesia.

Pertanyaan Besar: Mengapa Amerika Tidak Menghormati Indonesia?

Di balik ketegangan ini, muncul pertanyaan besar: mengapa perlakuan terhadap Indonesia jauh berbeda dibandingkan dengan Tiongkok? Salah satu jawabannya terletak pada struktur dan persiapan diplomatik. Indonesia datang tanpa strategi yang jelas, tanpa pemetaan kepentingan domestik AS, dan tanpa intelijen ekonomi yang memadai. Bahkan dalam membangun narasi media internasional pun Indonesia tertinggal jauh.

Di sisi lain, Tiongkok masuk ruang negosiasi dengan segala instrumen strategis. Mereka memiliki pemahaman tentang bagaimana sistem opini publik di AS bekerja, siapa saja aktor berpengaruh dalam penentuan kebijakan tarif, serta simulasi skenario tekanan yang telah disiapkan dengan matang. Singkat kata, Tiongkok datang dengan rencana perang, sementara Indonesia datang untuk berharap belas kasihan.

Baca juga:

Masalah yang Lebih Dalam: Kurangnya Kesadaran Geopolitik Ekonomi

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Indonesia belum siap menghadapi tekanan geopolitik ekonomi global. Kurangnya peran intelijen ekonomi dan strategi negosiasi menjadi titik lemah yang sangat mencolok. Bahkan buku strategi Trump sendiri, The Art of the Deal, seolah belum pernah dibaca oleh para diplomat Indonesia. Padahal, dari buku itu saja, sudah bisa diketahui bahwa negosiasi dengan Trump dan timnya bukan tentang kompromi, melainkan soal dominasi dan tekanan awal sebagai taktik awal.

Yang lebih ironis, Indonesia datang dengan empati dan komitmen membeli gandum serta LPG dari Amerika. Sebuah niat baik yang di forum seperti itu justru dianggap kelemahan. Amerika tidak membutuhkan empati; mereka ingin kendali.

Rekomendasi Strategis: Jangan Datang Kosong Lagi

Ke depan, Indonesia perlu belajar dari pengalaman ini. Jangan datang ke meja negosiasi dengan tangan kosong, apalagi dengan folder-folder goodwill tanpa senjata strategi. Dibutuhkan reformasi dalam pendekatan diplomasi ekonomi, termasuk:

  • Membangun intelijen ekonomi nasional
  • Melakukan pemetaan kekuatan politik dan bisnis di negara mitra
  • Mempersiapkan skenario tekanan dan respons diplomatik
  • Melibatkan pakar komunikasi strategis dan framing media internasional
  • Mengintegrasikan teknologi informasi dan AI untuk simulasi negosiasi

Penutup: Kedip vs Tatapan, Siapa yang Akan Menang?

Perang dagang bukan hanya soal angka dan tarif, tetapi soal persepsi, strategi, dan kekuasaan. Tiongkok menang bukan karena mereka lebih kuat secara ekonomi saja, tetapi karena mereka lebih cerdas dalam memainkan taktik. Indonesia harus belajar bahwa niat baik saja tidak cukup di forum global — yang dibutuhkan adalah struktur, kekuatan naratif, dan keberanian mengambil sikap tegas terhadap dominasi asing.

Semoga ke depan, delegasi Indonesia bisa berdiri setara, tidak lagi pulang membawa tarif, tetapi membawa kesepakatan strategis yang membanggakan. Dunia tidak memberi tempat bagi yang hanya berharap, tapi bagi mereka yang siap bertarung dengan cerdas.