Ditulis oleh: Amsor TV |

Ilustrasi simbol kekuasaan dinasti dan kekuatan militer di bawah bayang-bayang pemerintah
Ilustrasi: Potret visual tentang bayang-bayang politik dinasti dan kekuatan militer yang dikritisi dalam era pemerintahan saat ini.

Jakarta — Dinamika politik Indonesia pasca Pemilu 2024 telah membuka lembaran baru yang penuh gejolak, bukan hanya dalam tataran kekuasaan, tetapi juga pada pertanyaan fundamental mengenai masa depan demokrasi dan keutuhan negara. Kemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres lalu memang telah disahkan secara resmi, namun perdebatan tentang legitimasi moral dan politiknya belum benar-benar selesai. Apalagi, kemenangan ini dinilai menjadi simbol konkret menguatnya fenomena politik dinasti di Indonesia.

Isu ini kembali mencuat tajam dalam diskusi publik bertajuk Speak Up, yang dipandu oleh mantan Ketua KPK, Abraham Samad. Menghadirkan Bung Sat Ginting—pengamat militer dari Universitas Nasional (UNAS)—forum ini menjadi ruang terbuka bagi kritik terhadap arsitektur kekuasaan yang belakangan disebut-sebut mengarah pada konsolidasi kekuasaan berbasis keluarga, bukan meritokrasi.

“Dinasti politik Jokowi ini berpotensi menjadi salah satu variabel Indonesia akan cepat bubar pada 2030 nanti. Nah, ini yang harus kita lawan,” tegas Bung Sat Ginting.

Pernyataan ini bukan retorika kosong. Ginting merujuk pada berbagai indikator yang, menurutnya, menunjukkan bahwa kekuasaan kini semakin terkonsentrasi pada satu kelompok kecil yang berasal dari lingkaran biologis dan loyalis Presiden Joko Widodo. Isu “Gibran 2029” yang mulai beredar dalam bentuk spanduk hanya sepekan pasca penetapan kemenangan Gibran sebagai wakil presiden terpilih, memperkuat narasi tentang regenerasi kekuasaan yang tidak lagi berdasarkan prestasi, melainkan hubungan darah.

Baca juga:

Kekuatan Simbolik dan Retakan Legitimasi

Fenomena ini menciptakan krisis legitimasi yang jauh lebih dalam dari sekadar pertarungan politik biasa. Dalam tatanan demokrasi, legitimasi bukan hanya tentang menang secara konstitusional, tetapi juga tentang dipandang sah secara moral oleh rakyat. Ketika Mahkamah Konstitusi, dalam keputusannya, mengubah syarat usia cawapres demi memberi jalan kepada Gibran, publik pun mempertanyakan netralitas lembaga hukum.

“Manipulasi hukum demi anak penguasa adalah penanda awal dari kematian reformasi,” ujar Abraham Samad dalam sesi yang sama.

Pengabaian prinsip meritokrasi ini memunculkan rasa frustasi di tengah masyarakat yang sejak awal era Reformasi 1998 telah menolak segala bentuk konsentrasi kekuasaan yang mirip dengan gaya Orde Baru. Ironisnya, Jokowi yang dulu dielu-elukan sebagai simbol anti-dinasti kini justru dituding menjadi pelopor baru dalam menghidupkan kembali praktik-praktik politik yang berorientasi pada personalisme dan kekerabatan.

TNI dalam Cengkeraman Kekuasaan Sipil

Isu tidak berhenti pada ranah sipil. Di bawah kepemimpinan Jokowi, militer juga dinilai mengalami perubahan struktur yang menyimpang dari semangat profesionalisme. Menurut Bung Sat Ginting, tidak ada lagi prinsip wanakti—yaitu kewenangan internal militer untuk mengatur jenjang karier dan promosi—karena semua kini ditentukan langsung oleh Presiden.

“Siapa yang jadi pangdam, siapa yang diganti, semuanya ditentukan dari istana. Ini bukan meritokrasi. Ini neopatrimonialisme berkedok demokrasi,” tegasnya.

Neopatrimonialisme mengacu pada sistem di mana pejabat publik dipilih bukan karena kapasitas, tapi karena loyalitas personal kepada penguasa. Ini adalah pola yang berbahaya, apalagi bila diterapkan dalam institusi strategis seperti TNI yang seharusnya netral dan profesional.

Kasus pencopotan Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan Pangkogabwilhan I menjadi contoh nyata. Dalam waktu kurang dari empat bulan, Kunto—yang merupakan anak dari Jenderal (Purn) Try Sutrisno—diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Padahal, masa jabatan minimal untuk posisi sekelas itu adalah satu tahun guna memungkinkan pelaksanaan program dan konsolidasi kepemimpinan.

“Ini bukan rotasi. Ini pembusukan. Ketika putra seorang jenderal yang berintegritas disingkirkan, publik tahu ada pesan politik di baliknya,” kata Bung Sat.

Tanda-Tanda Peringatan dari Para Sesepuh Militer

Dalam acara halal bihalal Prabowo dengan purnawirawan TNI-Polri, figur Try Sutrisno kembali mendapat sorotan sebagai tokoh yang masih menjaga idealisme militer. Dikenal sebagai pendukung sistem GBHN dan konsistensi arah pembangunan nasional, Try dilihat sebagai simbol integritas yang tetap bersuara meski sudah tidak memegang jabatan formal.

“Pak Try bukan sekadar mantan panglima, tapi simbol integritas yang dihormati semua orang,” ujar Abraham Samad.

Try Sutrisno berdiri kontras dengan para mantan aktivis atau jenderal lain yang kini lebih banyak memilih diam atau bahkan menjadi bagian dari struktur kekuasaan melalui jabatan komisaris BUMN atau penasehat politik. Kegelisahan di kalangan purnawirawan ini bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan refleksi atas hancurnya garis batas antara negara dan kekuasaan personal.

Bahaya Politik Dinasti: Dari Legitimasi ke Disintegrasi

Menurut Bung Sat, bahaya politik dinasti bukan hanya soal kekuasaan diwariskan secara tidak sah. Ia menggarisbawahi tiga konsekuensi utama:

  1. Krisis Legitimasi Konstitusi: Ketika hukum disesuaikan untuk menguntungkan kelompok tertentu, maka wibawa konstitusi pun ikut luntur.

  2. Sentimen Daerah terhadap Pusat: Daerah akan merasa bahwa Jakarta bukan lagi representasi nasional, tapi keluarga elite tertentu. Ini menciptakan ketegangan dan potensi disintegrasi.

  3. Normalisasi Dinasti Lokal: Jika pusat memberi contoh buruk, maka daerah akan mengikuti. Kepala daerah bisa menyiapkan anak, menantu, atau kerabat sebagai penerus. Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, peta politik lokal bisa berubah menjadi peta dinasti.

“Kita bukan lagi melihat demokrasi, tapi transformasi sistem menjadi ‘feodalisme elektoral’,” kata Ginting.

Prabowo di Persimpangan Jalan

Sebagai Presiden terpilih, Prabowo Subianto menghadapi ujian besar dalam membuktikan bahwa ia bukan bagian dari sistem korosif ini. Kedekatannya dengan keluarga Jokowi, meskipun strategis secara politik, akan menjadi beban jika tidak diimbangi dengan langkah nyata untuk memulihkan institusi.

Abraham Samad menekankan bahwa Prabowo harus segera menunjukkan langkah konkret:

  1. Meluruskan struktur karier TNI dengan prinsip meritokrasi.
  2. Menunjuk pejabat publik yang profesional, bukan loyalis.
  3. Menjaga independensi lembaga-lembaga penegak hukum dari intervensi politik.

“Kalau Pak Prabowo diam, maka ia bukan hanya pasif, tapi aktif melanggengkan korupsi sistemik dalam kekuasaan,” ujarnya.

Ini bukan hanya soal menjaga citra pribadi, tetapi menyangkut masa depan bangsa. Prabowo yang pernah menjadi simbol kekuatan militer dan nasionalisme, kini punya tanggung jawab untuk membuktikan bahwa nasionalismenya bukan jargon kosong.

Penutup: Menuju 2030, Jalan Masih Bisa Dibelokkan

Diskursus soal "Indonesia bubar pada 2030" bukanlah mitos, melainkan cerminan dari keresahan mendalam terhadap jalannya demokrasi saat ini. Jika elit kekuasaan terus memaksakan struktur yang eksklusif, nepotistik, dan otoriter, maka krisis kepercayaan publik akan meluas. Ketika kepercayaan hilang, maka tak ada lagi pengikat bangsa.

Kritik dari tokoh seperti Bung Sat Ginting dan Abraham Samad harus dilihat bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai alarm dini dari suara rakyat yang masih peduli. Selama masih ada ruang untuk koreksi, maka sejarah belum ditutup.

“Berikan saya satu orang tua seperti Try Sutrisno, ia bisa melawan kezaliman. Tapi seribu pemuda mantan aktivis 98 kini hanya jadi buzzer dan komisaris BUMN.” – Bung Sat Ginting


© 2025 Amsor TV | https://amsortvofficial.blogspot.com

Tags: #BeritaNasional #DinastiJokowi #GibranRakabuming #TNI #TrySutrisno #AbrahamSamad #Disintegrasi2030 #MiliterIndonesia #KrisisDemokrasi