Terasa Hidup Di Syurga: Kisah Warga Indonesia di Suriah Sebelum Konflik
Warga Damaskus berjalan di sekitar masjid bersejarah sebelum konflik Suriah, menggambarkan kehidupan damai dan religius di Timur Tengah sebelum perang.
Warga Indonesia di sekitar lingkungan masjid, merefleksikan kedamaian Suriah sebelum konflik berdarah tahun 2011.

Oleh Amsor | Amsor TV

Damaskus, 24 Mei 2025

Bagi sebagian orang, Suriah mungkin hanya dikenal sebagai wilayah konflik yang porak-poranda sejak pecahnya perang pada 2011. Namun, bagi seorang warga Indonesia yang pernah tinggal di sana antara tahun 2008 hingga awal 2011, Suriah menyimpan dua wajah yang sangat kontras: negeri penuh keberkahan dan ilmu, sekaligus negeri yang rakyatnya hidup dalam cengkeraman ketakutan rezim.

Kisah ini disampaikan langsung oleh seorang narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya secara lengkap, namun kisahnya membuka tabir sisi lain dari negeri Syam—nama kuno untuk kawasan Suriah dan sekitarnya—yang jarang terangkat ke permukaan media arus utama.

Suriah, Negeri Para Nabi yang Dilupakan Media

“Suriah itu istimewa. Rasanya seperti hidup di dua alam yang bertentangan,” ujarnya membuka cerita.

Sebagai seorang pelajar yang datang untuk memperdalam ilmu Al-Qur’an dan hadis, ia menemukan bahwa Suriah menyimpan warisan keilmuan yang luar biasa. Ia menyebut Syekh Nuruddin Iter, seorang ahli hadis ternama yang setiap tahun meluluskan sekitar 80 perempuan penghafal hadis Sahih Bukhari dan Muslim. Sayangnya, prestasi ini nyaris tak pernah mendapat sorotan di media internasional.

“Tidak ada yang viral dari itu. Padahal itu luar biasa. Tapi dunia hanya melihat Suriah dari sisi konflik,” ujarnya.

Menurutnya, wilayah Syam—yang mencakup Suriah, Palestina, Yordania, Lebanon, dan sebagian wilayah Irak dan Turki—adalah kawasan yang disebut Allah sebagai “negeri yang diberkahi” dalam Surah Al-Isra ayat 1. Bahkan, para ulama sepakat bahwa inilah negeri yang menjadi tempat lahir dan tumbuh sebagian besar nabi dan rasul yang wajib diimani dalam Islam.

Menolak Istilah ‘Timur Tengah’

Sebagai bagian dari Institut Al-Aqsha untuk Riset Perdamaian, narasumber juga menolak penggunaan istilah “Timur Tengah” yang menurutnya sarat dengan perspektif kolonialisme.

“Kenapa disebut Timur Tengah? Karena dilihat dari perspektif orang Barat. Ada Timur Dekat, Timur Tengah, dan Timur Jauh. Kita ini Timur Jauh. Jadi semua itu berdasarkan posisi mereka. Kita mengkampanyekan istilah baru: Negeri Para Nabi,” tegasnya.

Menurutnya, nama memiliki makna ideologis. “Penamaan wilayah ini bukan sekadar istilah geografis, tapi juga cermin cara pandang kekuasaan kolonial. Sudah saatnya kita memakai istilah yang lebih mencerminkan realitas sejarah dan spiritualitas kawasan ini.”

Suriah dan Keberkahan Ilmu

Selama tinggal di Damaskus, narasumber menyaksikan langsung kehidupan keilmuan yang begitu hidup. Ia menyebut nama-nama ulama besar seperti Syekh Mustafa Albugha, Syekh Muhammad Said Ramadan Al-Buti, hingga Syekh Usamah Arfai’i.

“Keberkahan ilmu dan akhlak penduduknya itu terasa sekali. Bukan hanya ulama, masyarakat awamnya pun sangat menjunjung tinggi adab dan nilai-nilai Islam,” kenangnya.

Ia menceritakan bagaimana masyarakat Suriah memperlakukan pelajar asing dengan penuh hormat dan kedermawanan. “Saya pernah melihat sendiri seorang pelajar asal Indonesia ditanya oleh pemilik toko: ‘Kamu dari mana?’ Dijawab: ‘Belajar Qur’an di sini.’ Lalu pemilik toko langsung berkata, ‘Ambil apa saja kebutuhanmu, gratis.’”

Tak hanya toko. Bahkan apotek di lingkungan tempat tinggalnya menyediakan obat gratis bagi pelajar asing. Seorang bidan di rumah sakit juga menolak dibayar ketika membantu persalinan mahasiswa asing. “Kita jadi sering tak enak sendiri karena terus dibantu.”

Pandangan Akhirat yang Dekat

Menurut narasumber, masyarakat Syam memiliki pandangan tentang akhirat yang terasa sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari.

“Di sana, akhirat seperti berada di balik kamar sebelah. Ketika terjadi cekcok di jalan, seseorang berteriak ‘Shallu ‘alan Nabi!’ (bersalawatlah kepada Nabi), dan semua langsung tenang,” ujarnya.

Ia percaya, beratnya ujian yang menimpa kawasan ini menandakan kualitas spiritual yang tinggi. “Kenapa mereka yang diuji, bukan kita? Karena kualitas mereka di atas kita. Kalau Tangerang Selatan dikepung 18 tahun seperti Gaza, kira-kira kita kuat berapa hari?”

Wajah Lain Suriah: Ketakutan dan Tirani

Namun di balik keberkahan itu, ada sisi kelam yang tidak kalah nyata: rakyat Suriah hidup di bawah rezim otoriter yang represif.

“Bashar al-Assad bukan presiden dalam pengertian demokratis seperti di Indonesia. Ia mewarisi kekuasaan ayahnya, Hafiz al-Assad, dan mempertahankan kekuasaannya dengan sistem intelijen yang sangat kuat,” jelasnya.

Ia mengisahkan bagaimana percakapan antar warga Suriah pun berlangsung dalam ketakutan. “Kalau dia belum kenal kamu betul, dia sangat hati-hati bicara. Bahkan tembok pun bisa menangkap kamu, bukan cuma mendengar,” ujarnya menggambarkan paranoia yang merajalela di bawah pengawasan aparat.

Selama dua setengah tahun tinggal di Suriah, rumahnya didatangi intelijen delapan kali. “Mereka data lengkap: nama mertua, ipar, pekerjaan, kegiatan. Semua ditulis manual, tidak digital. Tapi mereka bilang, ‘Justru ini yang membuat negara kami aman.’”

Kekuasaan Minoritas atas Mayoritas

Dengan populasi 73% Muslim Sunni, rezim Suriah dikuasai oleh kelompok minoritas Nusairiyah Alawiyah—termasuk keluarga Assad dan sekutunya. Sejak 1973, empat keluarga elite menguasai seluruh sumber daya: minyak, infrastruktur, telekomunikasi, dan keamanan.

Sistem pemerintahan Suriah memang disebut republik, namun pada praktiknya mirip kerajaan. “Seperti Libya di era Qaddafi, atau Irak di bawah Saddam Hussein. Kekuasaan diwariskan turun-temurun,” ungkapnya.

Ia juga menjelaskan bahwa salah satu pilar kekuasaan Assad adalah Partai Ba’ath Sosialis Arab yang didirikan tahun 1948. “Ironisnya, ideologi partai ini dulunya bercita-cita menyatukan dunia Arab. Tapi yang terjadi justru penguasaan absolut oleh segelintir elit.”

Menjaga Ingatan, Menolak Lupa

Kini, bertahun-tahun setelah meninggalkan Suriah, narasumber masih menyimpan rasa cinta dan hormat kepada negeri itu. Meski perang telah menghancurkan banyak hal, ia yakin bahwa keberkahan negeri Syam tidak pernah benar-benar hilang.

“Saya ingin orang tahu bahwa Suriah bukan sekadar tempat perang. Ia adalah negeri yang disebut dalam Al-Qur’an, didoakan oleh Rasulullah, dan dihuni oleh orang-orang yang sangat mencintai akhirat,” ujarnya.

Di akhir perbincangan, ia menegaskan satu hal penting: “Jangan biarkan narasi tentang negeri Syam hanya ditulis dari perspektif konflik. Ada keberkahan, ada ilmu, ada cinta. Dan itu yang seharusnya kita abadikan dalam sejarah.”

Catatan Redaksi

Artikel ini disusun berdasarkan wawancara panjang dan kesaksian langsung narasumber yang pernah tinggal di Suriah sebelum pecahnya perang. Beberapa bagian telah disunting untuk kejelasan dan alur naratif, tanpa mengubah substansi cerita.