
Oleh: Redaksi Amsor TV
Jakarta,16 Mei 2025 - Di tengah riuhnya revolusi industri 4.0 dan loncatan digital yang kian pesat, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) muncul bukan sekadar sebagai teknologi masa depan, tetapi sebagai realitas mutakhir yang mulai membentuk ulang hampir seluruh sektor kehidupan manusia—termasuk pendidikan. Seiring waktu, AI bukan hanya menjadi alat bantu administratif, melainkan ikut menyentuh esensi dari proses belajar-mengajar itu sendiri.
Pertanyaannya kini bukan lagi "akankah AI masuk ke ruang kelas?" melainkan "sejauh mana dunia pendidikan siap mengadopsi, menyaring, dan mengarahkan dampak AI agar tidak menyesatkan generasi mendatang?"
Potret Transformasi: AI Menjadi Guru (pengajar)
Sejak pandemi COVID-19 mempercepat adopsi teknologi di sekolah-sekolah, dunia pendidikan kian akrab dengan platform digital, e-learning, dan model hybrid learning. Kehadiran AI memperluas spektrum ini, menawarkan kemudahan dalam memahami materi, menganalisis performa siswa, hingga memberikan penilaian secara otomatis.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, siswa mulai terbiasa menggunakan aplikasi berbasis AI seperti Grammarly, Photomath, Quillbot, hingga ChatGPT. Mereka memanfaatkan alat ini untuk mempercepat pekerjaan rumah, mencari referensi, bahkan menulis esai atau tugas akhir.
Menurut data UNESCO (2024), setidaknya 60% pelajar tingkat menengah dan atas di Asia Tenggara pernah menggunakan aplikasi AI dalam proses belajar mereka. Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa AI bukan lagi teknologi eksklusif, tetapi telah menjelma menjadi "guru kedua" yang hadir 24 jam dalam genggaman siswa.
Personalisasi Pembelajaran
Salah satu keunggulan terbesar dari AI adalah kemampuannya melakukan pembelajaran yang dipersonalisasi. AI dapat menganalisis kekuatan dan kelemahan siswa, lalu merekomendasikan materi sesuai dengan gaya dan kecepatan belajar masing-masing individu. Ini adalah solusi potensial untuk mengatasi ketimpangan belajar yang selama ini sulit diselesaikan oleh metode konvensional.
Misalnya, sistem AI dapat mendeteksi bahwa seorang siswa mengalami kesulitan pada konsep aljabar, lalu secara otomatis menampilkan video pembelajaran dan latihan soal yang relevan. Bagi siswa lain yang lebih cepat memahami, AI bisa langsung memberikan tantangan tingkat lanjut tanpa harus menunggu rekan sekelas lainnya.
“AI memberikan jalan untuk membuat pembelajaran lebih adil dan efektif. Namun di sisi lain, ini juga bisa menjerumuskan siswa dalam zona nyaman intelektual yang terlalu bergantung pada mesin,” kata Dr. Irwan Sunaryo, pakar pendidikan teknologi dari Universitas Indonesia.
Ancaman yang Mengintai: Plagiarisme, Ketergantungan, dan Dekadensi Intelektual
Di balik gemerlap manfaatnya, AI menyimpan potensi ancaman yang tidak boleh diremehkan. Salah satu yang paling krusial adalah maraknya praktik plagiarisme dan ketergantungan berlebihan pada AI.
Banyak siswa yang kini tidak lagi memahami proses berpikir kritis karena terbiasa menyalin jawaban dari chatbot. Dengan hanya mengetikkan perintah sederhana, mereka dapat memperoleh ringkasan buku, analisis puisi, hingga skripsi dalam hitungan detik. Fenomena ini menjamur, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa yang minim pengawasan dari pendidik.
ChatGPT dan Generasi “Ctrl+C Ctrl+V”
Salah satu kasus yang viral di media sosial adalah ketika seorang guru SMA di Surabaya memergoki seluruh kelasnya mengumpulkan tugas yang dihasilkan oleh ChatGPT. Tak satu pun dari mereka membaca ulang isi tulisan tersebut, sehingga semua tugas memiliki struktur dan gaya bahasa yang hampir identik.
Fenomena ini disebut oleh para akademisi sebagai "kemunduran intelektual modern"—ketika siswa lebih sibuk mencari jawaban daripada memahami pertanyaan.
“Ini bukan soal melarang AI, tapi bagaimana kita menumbuhkan etika dalam penggunaannya. Kalau tidak dibimbing, kita bisa mencetak generasi copy-paste yang minim daya nalar,” ujar Prof. Yuliana Handayani, Ketua Komisi Etik Akademik LLDIKTI Wilayah IV.
Baca juga:
Dilema Guru dan Dosen: Adaptasi atau Tersingkir?
Peran tenaga pengajar pun menghadapi tantangan besar. Guru dan dosen dituntut untuk tidak hanya memahami materi ajar, tetapi juga menguasai teknologi AI yang terus berkembang. Mereka ditantang untuk mengintegrasikan AI dalam pembelajaran tanpa kehilangan kendali atas substansi dan nilai-nilai pendidikan.
Namun kenyataannya, tidak semua pengajar siap dengan perubahan ini. Sebagian besar guru di daerah masih berkutat dengan kendala dasar seperti literasi digital yang rendah, infrastruktur internet terbatas, hingga minimnya pelatihan pemanfaatan AI.
Di sisi lain, ada juga kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan posisi guru dalam jangka panjang. Meski saat ini AI belum mampu meniru empati dan kecerdasan emosional seorang pendidik, kehadirannya dalam sistem penilaian, tutoring otomatis, hingga asesmen berbasis data sudah mulai menggeser peran tradisional guru.
“Bukan AI yang menggantikan guru, tapi guru yang tidak mau belajar tentang AI akan digantikan oleh mereka yang mau beradaptasi,” ujar Rina Kurniasari, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Bogor.
Regulasi Masih Tertinggal
Salah satu persoalan besar dalam integrasi AI di dunia pendidikan adalah ketiadaan regulasi yang jelas. Hingga pertengahan 2025, Indonesia belum memiliki kebijakan khusus yang mengatur batasan, panduan etika, maupun sistem verifikasi dalam penggunaan AI di sekolah dan perguruan tinggi.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memang telah menyatakan dukungan terhadap inovasi digital, namun regulasi mengenai AI masih bersifat umum dan normatif.
Tanpa regulasi yang kuat, banyak institusi pendidikan membiarkan penggunaan AI berkembang liar. Ini membuka celah terjadinya penyalahgunaan, mulai dari manipulasi data siswa, pelanggaran hak cipta, hingga jual beli skripsi hasil AI.
Etika dan Keamanan Data
Aspek lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah perlindungan data pribadi siswa. Banyak platform AI mengumpulkan informasi sensitif dari pengguna—mulai dari kebiasaan belajar hingga rekaman suara dan lokasi. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, data tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk kepentingan komersial.
“Etika dalam penggunaan AI harus menjadi kurikulum tersendiri, tidak cukup hanya sebagai sisipan dalam pelatihan guru,” tegas Bambang Supriyadi, pakar kebijakan publik dan mantan staf ahli Kemdikbud.
Jalan Tengah: Edukasi Literasi AI Sejak Dini
Menyikapi berbagai tantangan ini, para ahli sepakat bahwa solusi terbaik bukanlah menolak atau memusuhi AI, tetapi mengembangkan literasi AI secara sistematis di semua jenjang pendidikan.
Literasi AI mencakup pemahaman tentang cara kerja AI, manfaat dan risikonya, serta nilai-nilai etis dalam penggunaannya. Jika diajarkan sejak dini, siswa akan terbiasa menggunakan AI secara bijak, sebagai alat bantu, bukan sebagai mesin pemecah masalah instan.
Kurikulum Masa Depan
Beberapa sekolah di Jakarta dan Bandung mulai mengintegrasikan modul "Etika AI" dan "Digital Responsibility" dalam pelajaran Teknologi Informasi. Mereka bekerja sama dengan startup edukasi dan komunitas teknologi untuk memberikan pelatihan langsung kepada siswa.
Di tingkat perguruan tinggi, beberapa program studi bahkan membuka mata kuliah khusus seperti "AI dalam Pendidikan", "Machine Learning for Humanities", dan "AI Ethics". Upaya ini menjadi awal yang baik untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga tangguh secara etika dan sosial.
Rekomendasi Strategis: Apa yang Harus Dilakukan?
- Pemerintah:
- Segera merumuskan regulasi nasional tentang penggunaan AI dalam pendidikan, termasuk batasan etika, perlindungan data, dan pengawasan pelaksanaannya.
- Mendorong kolaborasi antara Kemendikbud, Kominfo, dan lembaga independen untuk menyusun kurikulum literasi AI sejak jenjang SD hingga perguruan tinggi.
- Sekolah dan Kampus:
- Menyelenggarakan pelatihan berkala bagi guru/dosen untuk memahami dan mengintegrasikan AI secara sehat.
- Membentuk tim etik akademik yang memantau penggunaan AI dalam tugas dan asesmen.
- Orang Tua dan Siswa:
- Orang tua diharapkan lebih aktif mendampingi anak saat menggunakan aplikasi AI, serta memberi pemahaman bahwa belajar bukan hanya soal hasil, tetapi proses berpikir.
- Siswa didorong untuk menggunakan AI sebagai alat bantu eksplorasi, bukan alat substitusi berpikir.
Penutup: AI Bukan Musuh, Tapi Ujian Baru
Kecerdasan buatan adalah buah kemajuan manusia. Namun seperti halnya api, ia bisa menjadi penerang atau pembakar, tergantung siapa yang mengendalikannya.
Dalam dunia pendidikan, AI harus dilihat sebagai mitra strategis—bukan penyelamat instan atau ancaman gelap. Yang dibutuhkan kini adalah keseimbangan antara teknologi dan nilai-nilai pendidikan, antara kecanggihan alat dan kemuliaan proses.
Pendidikan bukan sekadar soal mengisi kepala, tapi juga membentuk karakter. Dan di sinilah letak tanggung jawab semua pihak—agar generasi mendatang tidak hanya mahir menggunakan AI, tetapi juga mampu berpikir kritis, etis, dan manusiawi di tengah arus digital yang kian deras.
Kesimpulan
AI memiliki potensi besar untuk merevolusi pendidikan, namun penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab. Dengan pendekatan yang tepat, AI dapat menjadi alat yang kuat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan mempersiapkan generasi masa depan yang adaptif dan berdaya saing.
Daftar Referensi:
- UNESCO. (2025). Artificial intelligence in education. Retrieved from https://www.unesco.org/en/digital-education/artificial-intelligence
- OECD. (2025). Artificial intelligence and education and skills. Retrieved from https://www.oecd.org/en/topics/sub-issues/artificial-intelligence-and-education-and-skills.html
- Kemendikbudristek. (2024). Tingkatkan Pembelajaran Digital melalui Pemanfaatan GenAI dalam Perguruan Tinggi. Retrieved from https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2024/04/tingkatkan-pembelajaran-digital-melalui-pemanfaatan-genai-dalam-perguruan-tinggi
- UNESCO. (2025). What you need to know about UNESCO's new AI competency frameworks for students and teachers. Retrieved from https://www.unesco.org/en/articles/what-you-need-know-about-unescos-new-ai-competency-frameworks-students-and-teachers
- Kemendikbudristek. (2024). Mengembangkan Bangkit 2024 dengan Penambahan Kurikulum AI. Retrieved from https://dikti.go.id/kabar-dikti/mengembangkan-bangkit-2024-dengan-penambahan-kurikulum-ai/