
Foto: Wawancara Eksklusif dengan Mantan Anggota Al-Arqam.
Jakarta — Di balik popularitas serial televisi yang menyoroti sisi gelap kelompok keagamaan eksklusif, terdapat kisah nyata yang jauh lebih kompleks, manusiawi, dan menyentuh. Dalam sebuah wawancara mendalam di kanal YouTube Curhat Bang Denny Sumargo, seorang pria yang menggunakan nama samaran “Satrio” membuka tabir pengalaman tujuh tahun hidupnya sebagai bagian dari kelompok keagamaan yang dikenal sebagai Al-Arqam. Sebuah perjalanan spiritual yang berujung pada kebangkitan kesadaran dan keinginan untuk hidup merdeka.
Awal yang Religius dan Damai
Satrio bergabung dengan Al-Arqam pada tahun 2001, saat usianya baru menginjak 18 tahun. Saat itu, ia baru lulus sekolah dan seperti banyak pemuda lainnya, sedang mencari arah hidup yang lebih bermakna. Pertemuan dengan seorang anggota jemaah Al-Arqam menjadi pintu masuknya ke dalam kelompok yang saat itu dikenal sebagai komunitas religius yang sangat tertib dan penuh kasih.
“Saya masuk karena ingin mendalami agama, ingin dekat dengan Tuhan. Mereka menawarkan sistem kehidupan Islami yang menyeluruh, dari ibadah sampai ekonomi mandiri,” jelasnya dalam sesi wawancara yang penuh keterbukaan.
Kelompok ini, yang bermula di Malaysia pada awal 1980-an, dibentuk oleh seorang tokoh karismatik yang dikenal sebagai “Ayah”. Dengan pendekatan spiritual, pendidikan, dan ekonomi yang terstruktur, Al-Arqam berkembang pesat hingga menembus berbagai negara termasuk Indonesia. Di masa awal, mereka fokus pada dakwah damai, pendidikan agama, dan pengembangan ekonomi komunitas. Dari pabrik tahu hingga produksi lagu-lagu religi, jemaah ini menunjukkan kemandirian yang menginspirasi.
Sistem Kehidupan yang Terstruktur
Apa yang membedakan Al-Arqam dari kelompok religius lainnya adalah sistem internal yang nyaris seperti negara dalam negara. Mereka memiliki jaringan ekonomi mandiri, pusat pelatihan kader, media sendiri, serta gaya hidup yang diatur dengan ketat. Di kalangan jemaah, keputusan diambil secara terpusat dan harus dipatuhi tanpa tanya.
“Setiap anggota punya peran. Kami tidak sekadar beribadah, tapi juga bekerja, belajar, dan hidup dalam komunitas tertutup. Semua diatur—dari makanan sampai siapa yang akan menikah dengan siapa,” terang Satrio.
Mereka tinggal di dalam lingkungan yang disebut "markaz", di mana interaksi dengan dunia luar sangat terbatas. Komunikasi, pendidikan, bahkan hiburan dikelola internal, menjadikan para anggotanya benar-benar hidup dalam sistem yang tertutup namun rapi. Hal ini membuat mereka merasa aman, terlindungi, dan yakin sedang menempuh jalan kebenaran.
Titik Balik: Ketika Spiritualitas Berganti Menjadi Kekuasaan
Namun di balik sistem yang tampak ideal tersebut, perlahan muncul tanda-tanda penyelewengan. Titik kritis pertama terjadi ketika pemimpin utama kelompok itu ditangkap oleh otoritas Malaysia pada tahun 1994 dengan tuduhan mengancam stabilitas nasional. Penangkapan tersebut tidak melalui proses hukum terbuka karena menggunakan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA). Sejak saat itu, posisi sang pemimpin melemah secara fisik dan simbolik.
“Setelah beliau ditangkap, beliau disiksa hingga lumpuh dan kehilangan kemampuan bicara. Tapi yang luar biasa, beliau tidak pernah mengajarkan kebencian. Bahkan dalam kondisi begitu pun, beliau masih mendoakan perdamaian,” kata Satrio, mengenang sosok yang pernah sangat ia hormati.
Namun, keadaan itu kemudian dimanfaatkan oleh salah satu istrinya yang mengambil alih peran sebagai juru bicara spiritual sang pemimpin. Menurut Satrio, dari sinilah arah kelompok mulai berubah. Pesan-pesan yang disampaikan bukan lagi murni berasal dari sang pemimpin, melainkan telah dibumbui kepentingan pribadi dan agenda kekuasaan.
“Semua kebijakan diklaim berasal dari beliau. Tapi kami tahu, banyak yang tidak masuk akal dan mulai terasa manipulatif. Ada unsur politisasi internal, saling menjilat, dan perebutan kekuasaan dalam organisasi,” ungkapnya.
Pengaruh Manipulasi dan Trauma Psikologis
Perubahan tersebut berdampak langsung pada kehidupan para anggota. Tidak hanya ketaatan mutlak yang dituntut, tapi juga hilangnya ruang untuk berpikir kritis. Satrio mengaku mulai merasa gelisah karena pertanyaan-pertanyaan logisnya tidak pernah diberi ruang.
“Kami diajarkan bahwa jika kita banyak bertanya, berarti kita tidak beriman. Tapi saya merasa ada banyak hal yang tidak konsisten. Saya jadi takut pada keraguan saya sendiri,” ujarnya.
Lebih dari itu, kehidupan dalam komunitas tersebut ternyata juga diwarnai dengan manipulasi psikologis. Satrio menyebutkan bahwa ada unsur pemutusan hubungan dengan keluarga luar, pengawasan ketat terhadap interaksi pribadi, hingga tekanan mental bagi yang dianggap tidak taat. Meskipun tidak ada kekerasan fisik secara terbuka, kontrol psikologis yang diterapkan sangat kuat.
“Kami hidup dalam ketakutan yang dibungkus spiritualitas. Kalau kita punya keraguan, itu dianggap bisikan setan. Padahal sebenarnya, itu suara hati nurani,” katanya lirih.
Jalan Keluar dan Pertarungan dengan Diri Sendiri
Setelah tujuh tahun hidup dalam sistem tersebut, Satrio akhirnya memutuskan keluar pada tahun 2008. Keputusan itu tidak mudah, mengingat seluruh identitas, sosial, dan spiritualnya telah melebur dalam kelompok. Ia harus mulai dari nol—tanpa pekerjaan, tanpa jaringan sosial, dan dengan stigma.
“Saya keluar tanpa tahu harus ke mana. Dunia luar terasa asing. Tapi saya tahu, saya harus keluar demi menyelamatkan kewarasan saya,” tegasnya.
Proses transisi ini juga membuatnya berhadapan dengan trauma, kebingungan identitas, dan krisis spiritual. Ia sempat merasa tersesat dan kehilangan arah. Namun secara perlahan, ia mulai membangun kembali hidupnya, kali ini dengan kebebasan untuk berpikir dan mengeksplorasi keimanan dengan cara yang lebih personal.
Kini, Satrio menjalani kehidupan baru yang lebih seimbang. Ia bekerja di bidang kreatif dan seni, khususnya di ranah hiburan Islami. Dengan bekal pengalaman masa lalunya, ia memilih untuk menyebarkan pesan spiritual melalui pendekatan damai dan humanis.
“Saya masih beriman. Tapi sekarang saya lebih rasional dan tidak mudah ditakut-takuti. Tuhan itu Maha Pengasih, bukan Maha Mengancam,” ucapnya mantap.
Refleksi terhadap Serial dan Narasi Publik
Satrio juga memberikan pandangannya terhadap serial populer yang terinspirasi dari pengalaman kelompok tersebut. Menurutnya, sebagian besar yang digambarkan memang mendekati kenyataan, terutama soal struktur kekuasaan dan kontrol internal. Namun, ia menyayangkan jika karakter pemimpin utama digambarkan sebagai sosok jahat secara mutlak.
“Beliau bukan orang jahat. Justru orang-orang di sekelilingnyalah yang kemudian menyimpangkan ajarannya. Serial itu bagus sebagai pengingat, tapi jangan sampai menghilangkan nuansa kemanusiaan dalam cerita sebenarnya,” tuturnya.
Ia berharap, masyarakat dapat mengambil pelajaran dari kisah ini, terutama dalam membedakan antara ajaran agama yang tulus dan sistem yang dipelintir untuk kekuasaan. Spiritualitas seharusnya membebaskan, bukan mengurung.
Penutup: Jalan Tengah antara Iman dan Rasionalitas
Kisah Satrio bukan hanya tentang keluar dari sekte, tetapi tentang perjalanan panjang mencari makna hidup, iman, dan kebebasan berpikir. Ia adalah gambaran dari mereka yang pernah tersesat bukan karena niat buruk, tapi karena kehausan akan spiritualitas yang kemudian dimanfaatkan oleh sistem yang manipulatif.
“Saya tidak menyesal pernah masuk ke sana. Karena justru dari situ saya belajar bahwa iman sejati adalah yang lahir dari kesadaran, bukan dari ketakutan,” tutupnya.
Catatan Redaksi: Nama dan beberapa detail dalam artikel ini telah disamarkan untuk menjaga privasi narasumber. Wawancara lengkap tersedia di kanal Curhat Bang Denny Sumargo di YouTube.
Tidak ada komentar
Posting Komentar