Jakarta, - Dr. Muhammad Taufik, salah satu tokoh yang aktif menyuarakan kritik terhadap keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo, kembali menjadi sorotan publik setelah dirinya masuk dalam daftar delapan pihak yang dilaporkan ke pihak berwajib. Laporan tersebut mencakup tiga nama lama dan lima nama baru, termasuk satu organisasi, yakni TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis).

Split-screen menampilkan Dr. Muhammad Taufik dan Refly Harun saat membahas pelaporan terhadap tokoh pengkritik ijazah Presiden Jokowi di kanal YouTube Refly Harun
Dr. Muhammad Taufik (kiri)/Refly Harun (kanan) dalam pernyataan yang disampaikan melalui kanal YouTube Refly Harun pada 2/04/25


Dalam pernyataannya yang disampaikan melalui kanal YouTube Refly Harun, Dr. Taufik mengaku heran dan menyebut laporan itu sebagai sesuatu yang “ridiculous” (konyol). Ia mempertanyakan motif pelaporan yang dinilainya tidak berdasar, bahkan terkesan hanya untuk mencari popularitas.

“Anak itu cari tenar, pengin viral, biar hemat biaya, kerjaannya kosong, harusnya di KTP ditulis aja 'buzzer' atau 'pelapor polisi',” ujar Taufik menyindir sosok pelapor yang disebut-sebut masih berusia 27 tahun dan tidak memiliki pekerjaan tetap.

Taufik juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak mengenal pelapor, yang disebut hanya mencantumkan lokasi sebagai “RTRW Depok” tanpa kejelasan tempat kejadian perkara (lokus delikti) maupun waktu kejadian (tempus delikti). Menurutnya, laporan tersebut hanya mencantumkan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, namun tidak menyertakan bukti atau perbuatan nyata yang dikategorikan sebagai tindak pidana.

Baca juga: Kontroversi Ijazah Jokowi UGM

Sebagai seorang akademisi yang mempelajari hukum, Taufik menegaskan bahwa laporan yang dilayangkan terhadapnya dan sejumlah pihak lainnya itu sangat mengada-ada. Ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 7/PUU-VII/2009, yang menyebutkan bahwa Pasal 160 KUHP tentang penghasutan harus dilihat secara hati-hati, terutama mengenai apakah perbuatan tersebut benar-benar mengarah pada kerusuhan nyata atau hanya sekadar ujaran di ruang digital.

“Kalau hanya debat atau ajakan di medsos, itu bukan penghasutan dalam pengertian hukum. Harus ada tindakan fisik nyata seperti serbuan massa atau kerusuhan,” tegasnya.

Taufik menjelaskan lebih lanjut bahwa berdasarkan putusan tersebut, penghasutan hanya bisa diproses hukum jika ada bukti konkret berupa perbuatan yang mengarah pada kekerasan atau kerusuhan fisik. Sementara itu, perdebatan atau kritikan di media sosial seharusnya dianggap sebagai bagian dari dinamika demokrasi, bukan sebagai tindak pidana.

Taufik juga mengutip Putusan MK No. 115/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 29 April 2025, yang semakin menguatkan pandangannya bahwa keributan atau keonaran di ruang digital tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana di bawah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut putusan MK tersebut, komentar atau perdebatan di media sosial tidak boleh dianggap sebagai keonaran yang mengganggu ketertiban umum, apalagi dihakimi dengan pendekatan hukum pidana.

“Medsos itu tempat debat, tempat kritik. Itu bagian dari demokrasi. Kalau cuma ribut di medsos dianggap keonaran, itu justru melanggar konstitusi,” ungkapnya dengan nada serius.

Baca juga: Kejanggalan Status Alumni Jokowi di UGM

Pernyataan Dr. Taufik ini menunjukkan sikap tegasnya terhadap upaya-upaya yang menurutnya berpotensi untuk mengekang kebebasan berpendapat. Ia mengingatkan bahwa negara hukum harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, di mana setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat dan kritikan tanpa takut dihukum hanya karena berbicara di ruang digital.

Lebih lanjut, Taufik mengungkapkan kekhawatirannya tentang lemahnya penegakan hukum yang sering kali mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengikat. Ia menilai laporan-laporan yang dilayangkan kepada para pengkritik Presiden Joko Widodo, termasuk terhadap dirinya, sebagai bentuk pembungkaman demokrasi yang sangat tidak sesuai dengan prinsip negara hukum yang seharusnya dijunjung tinggi.

“Laporan-laporan seperti ini justru bisa menjadi delik fitnah, baik secara lisan maupun tulisan. Kalau tidak ada perbuatannya, berarti pelapor yang harus diperiksa,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Taufik juga menyinggung laporan yang diterima oleh tokoh-tokoh lain seperti Roy Suryo, dr. Tifa, dan Rizal Fadillah. Ia menganggap laporan tersebut sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menekan suara-suara kritis di Indonesia. Taufik merasa bahwa laporan-laporan yang masuk lebih banyak berorientasi pada politik dan bukan pada penegakan hukum yang adil.

Ia juga menyoroti laporan terhadap Gus Nur dan Bambang Tri, yang menurutnya absurd karena kedua tokoh tersebut bahkan masih berada dalam tahanan pada saat peristiwa yang dilaporkan terjadi.

“Kalau mereka masih di dalam penjara pada tanggal kejadian, kejahatannya di mana? Jangan-jangan yang lapor ini makan kecubung, halusinasi sendiri,” sindir Taufik dengan candaan yang tajam.

Baca juga: Revisi RUU KUHAP dan Transparansi Hukum

Taufik menegaskan bahwa dirinya tidak akan membentuk tim hukum untuk menghadapi laporan tersebut. Baginya, laporan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dan dirinya percaya bahwa tidak ada perbuatan pidana yang bisa menjerat dirinya maupun tokoh-tokoh lain yang dilaporkan dalam kasus ini. Ia lebih memilih untuk fokus pada perjuangan untuk keadilan, terutama mengenai keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo.

“Allahu Akbar. Masih ada keadilan di Mahkamah Konstitusi. Ini kemenangan untuk orang-orang jujur, untuk mereka yang memperjuangkan kejelasan atas ijazah Presiden,” ungkapnya dengan penuh semangat.

Taufik menekankan bahwa perjuangannya dan perjuangan orang-orang yang sependapat dengannya adalah untuk kejelasan dan transparansi, bukan untuk menyerang individu atau memfitnah pihak lain. Ia berharap masyarakat bisa lebih bijak dalam menyikapi laporan-laporan yang masuk ke polisi, terutama yang berkaitan dengan perdebatan di ruang publik.

Dalam akhir pernyataannya, Taufik mengajak semua pihak untuk tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang sengaja dihembuskan untuk memperburuk situasi. Ia menegaskan bahwa dalam demokrasi, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan seharusnya disikapi dengan kepala dingin dan rasional, bukan dengan pelaporan yang tak berdasar.

Editor: Amsor TV
Untuk informasi lebih lanjut dan video lengkapnya, kunjungi kanal YouTube Refly Harun.