Krisis PHK dan Kemiskinan Struktural: Ketika Janji Palsu Menyulut Api Ketidakpuasan Rakyat
Massa demonstrasi membawa spanduk PHK Massal dalam aksi protes di Indonesia

Ilustrasi: Ribuan warga turun ke jalan dalam demonstrasi menolak PHK massal yang melanda berbagai sektor di Indonesia. (Foto: Amsor TV)

Jakarta, 11 Mei 2025 — Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kian meluas di Indonesia menandai krisis ekonomi yang tidak bisa lagi disangkal. Hingga saat ini, tercatat hampir 90 ribu pekerja kehilangan pekerjaan, termasuk di sektor yang selama ini dianggap tangguh seperti media massa. Di tengah janji-janji penciptaan 19 juta lapangan kerja dan program makanan bergizi gratis, kenyataan di lapangan justru menunjukkan kemerosotan daya beli, jeritan rakyat, dan ketidakpastian masa depan.

PHK Massal: Fenomena yang Terus Membesar

Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia dihadapkan pada krisis ekonomi yang tidak hanya mempengaruhi sektor informal, tetapi juga merambah sektor-sektor yang sebelumnya terlihat kokoh, seperti media, manufaktur, dan ritel. Banyak perusahaan besar yang terpaksa melakukan PHK massal sebagai langkah untuk bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi global dan domestik.

Sejak awal 2025, laporan-laporan resmi menunjukkan bahwa hampir 90 ribu pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka. Sebagian besar dari mereka berasal dari sektor-sektor yang sebelumnya dianggap relatif aman dari ancaman PHK, seperti media massa, yang dalam beberapa tahun terakhir justru menghadapi tantangan besar akibat transisi digital dan penurunan iklan.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran Indonesia telah mencapai titik tertinggi dalam lima tahun terakhir, dengan lebih dari 10 juta orang tidak memiliki pekerjaan tetap. Sementara itu, sektor formal—yang seharusnya menjadi penggerak utama perekonomian—justru tercatat mengalami penurunan signifikan dalam jumlah pekerja yang terdaftar.

Janji Pemerintah yang Tidak Terpenuhi

Di tengah situasi ini, pemerintah Indonesia terus mengumbar janji-janji besar yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja dan pemberian makanan bergizi untuk rakyat. Pada masa awal pemerintahan, Presiden Jokowi mengumumkan rencana ambisius untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja baru. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, yang terjadi justru adalah PHK massal yang semakin memperburuk ketidakpastian ekonomi.

Lebih dari itu, program pemberian makanan bergizi gratis yang dijanjikan untuk mengatasi masalah gizi buruk di kalangan masyarakat miskin juga belum terealisasi dengan baik. Di banyak daerah, warga yang terdampak kemiskinan malah harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, sementara pemerintah tampaknya terjebak dalam retorika tanpa ada implementasi yang memadai.

Sastrawan dan sosiolog Oki Madasari, dalam diskusi publiknya, menyatakan bahwa ketidakberdayaan ini bukanlah kebetulan. Menurutnya, apa yang terjadi saat ini adalah akibat dari kebijakan ekonomi yang buruk dan pemahaman yang keliru tentang bagaimana menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan.

Baca juga:
▶️ Gencatan Senjata India-Pakistan Dimediasi Amerika
▶️ Tarif Naik, Delegasi Indonesia Bertemu Trump : Pulang Tanpa Kesepakatan

"Populisme Ekstraktif" dan Penggerogotan Sumber Daya Negara

Oki Madasari menggambarkan situasi ini dengan istilah "populisme ekstraktif." Menurutnya, populisme yang dijalankan oleh pemerintah saat ini hanyalah kedok untuk kebijakan jangka pendek yang justru menguntungkan segelintir elite, sementara rakyat justru terus terhimpit dalam kemiskinan.

"Sumber daya negara itu digerogoti untuk memakmurkan elite. Ekonomi kita saat ini tidak lagi inklusif. Institusi ekonomi yang ada hanya melayani akumulasi kekayaan bagi kelompok tertentu," ujar Oki.

Menurut Oki, pemerintah lebih memilih untuk mendirikan proyek-proyek besar seperti sovereign wealth fund (Danantara) yang tidak menyentuh sektor padat karya. Padahal, Indonesia masih jauh dari pendapatan per kapita tinggi yang memungkinkan negara untuk meninggalkan sektor industri manufaktur. Jepang dan Korea, misalnya, baru beralih dari sektor padat karya setelah pendapatan per kapita mereka mencapai level yang sangat tinggi. Sementara Indonesia, dengan pendapatan per kapita yang masih rendah, tergesa-gesa meninggalkan sektor tersebut, tanpa memperhitungkan dampak sosial yang ditimbulkan.

Premanisme: Lingkaran Setan yang Memperburuk Krisis Ekonomi

Salah satu dampak paling mencolok dari krisis PHK ini adalah munculnya premanisme yang semakin meluas. Premanisme, yang selama ini sering dianggap sebagai fenomena sampingan dalam dunia usaha, kini menjadi ancaman serius yang memperburuk iklim investasi dan usaha. Premanisme yang tumbuh subur justru mendapat restu dari mereka yang berkuasa, yang menggunakannya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

"Premanisme ini lingkaran setan. PHK menciptakan kemiskinan baru, kemiskinan melahirkan premanisme, dan premanisme membuat investor kabur. Itu memperparah kemiskinan lagi," tambah Oki.

Oki menilai bahwa premanisme bukan hanya akibat dari lemahnya negara, tetapi juga bagian dari pola lama di mana kekuasaan politik justru memelihara preman-preman ini untuk kepentingan mereka sendiri. Keberadaan preman-preman ini menghalangi proses investasi yang sehat dan menciptakan ketidakpastian yang semakin memperburuk kondisi perekonomian.

Kemiskinan Struktural dan Ketidakpuasan Sosial

Kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia saat ini bukan hanya masalah kemalasan individu, tetapi merupakan akibat dari kebijakan sistemik yang menciptakan kesenjangan sosial yang semakin dalam. Kebijakan yang tidak inklusif, yang mengutamakan kepentingan kelompok elite di atas kepentingan rakyat, telah menutup akses masyarakat terhadap sumber daya ekonomi yang mereka butuhkan.

"Kalau demokrasi kita diinjak-injak, konstitusi dikangkangi, dan hukum diotak-atik, maka institusi ekonomi yang muncul hanya akan berpihak pada kroni. Dan itulah yang kita alami hari ini," pungkas Oki.

Angka pengangguran yang terus meningkat, serta daya beli yang semakin tergerus, menjadi indikasi jelas bahwa ketidakpuasan sosial sudah mencapai titik kritis. Tidak hanya di kalangan masyarakat miskin, tetapi juga di kalangan kelas menengah yang selama ini diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian. Ketidakpuasan ini semakin menguat dengan semakin meluasnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang dinilai tidak mampu memenuhi janji-janji kampanye mereka.

Peringatan tentang Potensi Ledakan Sosial

Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya pembenahan pada institusi politik dan kebijakan ekonomi yang lebih adil, Oki Madasari memperingatkan bahwa potensi ledakan sosial dan revolusi bukanlah hal yang mustahil. Ketidakpuasan yang terus menumpuk, jika tidak segera ditangani dengan langkah-langkah yang tepat, dapat memicu ketegangan sosial yang meluas dan mengarah pada kekacauan politik.

Artikel ini disusun berdasarkan pemaparan dalam wawancara yang ditayangkan di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up, bersama , sastrawan dan sosiolog Indonesia, yang membedah akar permasalahan ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia.

© 2025 Amsor TV. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau menyebarluaskan sebagian atau seluruh isi artikel tanpa izin tertulis dari redaksi.