Seorang remaja di Cikarang berdebat dengan Dedi Mulyadi terkait penggusuran warga dan Perpisahan/wisuda SMP dan SMA.
Tangkapan layar YouTube (KDM Channel) : Seorang remaja di Cikarang berdebat dengan Dedi Mulyadi terkait penggusuran warga dan Perpisahan/wisuda SMP dan SMA.

Bekasi, – Belum lama ini, seorang remaja perempuan asal Cikarang, Jawa Barat, menarik perhatian publik setelah video perdebatan sengitnya dengan tokoh publik Dedi Mulyadi viral di media sosial. Dalam video tersebut, remaja ini menyuarakan kritik tajam terhadap proyek pembangunan Bendungan BSH yang memicu penggusuran warga, serta menentang kebijakan penghapusan acara wisuda di sekolah-sekolah. Namun, debat yang semula fokus pada isu sosial ekonomi itu kemudian berubah menjadi polemik yang lebih luas, melibatkan persepsi gaya hidup dan budaya yang semakin terpengaruh oleh platform seperti TikTok.

Perayaan Wisuda di Tengah Kemiskinan

Puncak ketegangan dalam perdebatan ini terjadi ketika Dedi Mulyadi mempertanyakan prioritas kehidupan keluarga remaja tersebut. Meskipun keluarga tersebut mengaku kesulitan secara ekonomi — bahkan tinggal di bantaran sungai dan masih mencicil kontrakan — mereka tetap menuntut adanya acara perpisahan sekolah yang dinilai sebagai kebutuhan tersier. "Mana lebih penting: uang itu disimpan untuk biaya kuliah, atau dihabiskan untuk perpisahan?" ujar Dedi dalam perdebatan tersebut. Kritiknya menggugah banyak pihak untuk merenung lebih dalam tentang bagaimana standar hidup palsu sering kali didorong oleh media sosial, terutama TikTok.

TikTok telah menciptakan sebuah realitas alternatif yang sering kali tidak mencerminkan kehidupan nyata banyak orang. Dalam dunia TikTok, kesuksesan sering kali diukur dari seberapa mewah pesta yang diadakan, seberapa mahal pakaian yang dipakai, dan seberapa glamor tampilan yang dibagikan. Gaya hidup ini, yang sering kali tidak realistis, telah menjadi sebuah standar yang dikejar oleh banyak anak muda, bahkan oleh mereka yang seharusnya lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka.

TikTok: Pembentuk Standar Hidup yang Merusak

Kasus seorang remaja yang memprotes penghapusan acara wisuda di sekolah menjadi sebuah potret nyata dari permasalahan yang lebih besar: darurat moral akibat pengaruh platform seperti TikTok. Dengan algoritma yang menampilkan konten-konten yang mengutamakan penampilan dan kemewahan, TikTok secara tidak langsung menanamkan standar hidup yang salah kepada generasi muda. Bahkan ketika anak-anak kita harus berjuang memenuhi kebutuhan dasar mereka, mereka lebih takut tidak tampil sempurna di media sosial daripada gagal membangun masa depan yang lebih baik.

Ini bukan hanya masalah individu. Ini adalah masalah nasional yang mempengaruhi pola pikir dan moralitas generasi muda Indonesia. Ketika anak-anak lebih mengutamakan gengsi dan status sosial di dunia maya, mereka sering kali lupa bahwa hidup yang sesungguhnya jauh lebih kompleks dan penuh tantangan. Kebutuhan untuk berpesta dan bergaya di media sosial, yang sering kali terlihat lebih penting daripada pendidikan dan kesejahteraan keluarga, telah mengarahkan banyak orang pada kebiasaan konsumtif yang berbahaya, bahkan mendorong mereka untuk terjerat utang.

Darurat Moral: Ketika Gengsi Mengalahkan Realitas

Tentu saja, tidak ada yang salah dengan memiliki impian dan menginginkan yang terbaik. Namun, dalam realitas Indonesia yang penuh dengan tantangan ekonomi, memaksakan standar hidup tinggi yang didorong oleh media sosial dapat membawa dampak negatif. Sebagai contoh, banyak keluarga yang terpaksa meminjam uang dari rentenir atau menggadaikan aset hanya untuk memenuhi keinginan anak mereka mengadakan acara wisuda yang berlebihan. Ini adalah bentuk dari keputusasaan yang dibungkus dalam pesta mewah, yang akhirnya hanya memperburuk kondisi keuangan keluarga.

TikTok, yang menawarkan hiburan tanpa batas, semakin memperburuk masalah ini dengan menormalisasi gaya hidup mewah yang tidak terjangkau oleh banyak orang. Bahkan dalam kondisi ekonomi yang serba sulit, banyak anak muda yang masih terobsesi dengan penampilan semu, karena mereka merasa tertekan untuk mengikuti tren yang berkembang di platform tersebut.

Pemerintah Harus Bertindak: Larangan TikTok atau Regulasi Ketat?

Fenomena ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah Indonesia harus segera bertindak untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk TikTok dan platform media sosial lainnya. Tidak hanya harus ada pembatasan usia dan pengawasan ketat terhadap konten yang beredar, tetapi juga kontrol terhadap algoritma yang menyebarkan standar hidup semu. TikTok bukanlah musuh, tetapi budaya pamer yang dihasilkan darinya telah menciptakan bahaya yang nyata bagi mentalitas masyarakat.

Beberapa negara telah menunjukkan langkah berani dengan melarang TikTok, demi melindungi moral dan integritas generasi muda mereka. Negara seperti India, Afghanistan, dan Pakistan telah menangguhkan aplikasi ini, dengan alasan keprihatinan terhadap dampaknya terhadap pola pikir remaja. Bahkan negara-negara di Eropa seperti Inggris dan Prancis semakin ketat dalam mengawasi penggunaan TikTok. Indonesia pun harus memiliki kebijakan yang tegas dalam mengatur platform-platform seperti TikTok, agar generasi muda kita tidak terjerumus lebih dalam ke dalam budaya konsumerisme yang merusak.

Untuk lebih lanjut tentang dampak buruk TikTok terhadap otak dan mental remaja, Anda dapat membaca artikel terkait di Sini.

Petisi untuk Larangan TikTok di Indonesia

Dengan mempertimbangkan dampak yang telah ditimbulkan oleh TikTok, mari kita bersama-sama mengajukan petisi kepada pemerintah Indonesia untuk membuat aturan yang lebih ketat terkait penggunaan TikTok, terutama bagi guru dan pelajar. Bahkan, jika memungkinkan, larangan total TikTok untuk masuk ke Indonesia harus dipertimbangkan untuk menjaga moralitas dan kesehatan mental generasi muda.

Petisi ini bertujuan untuk:

  • Melarang TikTok di kalangan pelajar dan guru, demi menjaga fokus pada pendidikan dan pengembangan diri, tanpa terganggu oleh budaya pamer dan kehidupan semu.
  • Menerapkan regulasi ketat terhadap platform media sosial lainnya yang berpotensi merusak moral dan mental generasi muda.
  • Mengembangkan pendidikan karakter yang mengutamakan nilai-nilai kerja keras, kemandirian, dan kebanggaan atas pencapaian pribadi, bukan penampilan semu yang hanya bertahan sementara di dunia maya.

Mari kita jaga masa depan bangsa dengan menciptakan lingkungan yang sehat dan mendidik, di mana anak-anak muda kita dapat berkembang dengan bijak dan realistis, tanpa harus terjebak dalam standar hidup yang tidak sesuai dengan kenyataan.