Dr. Tifa, Roy Suryo, dan Rismon Sianipar mengungkap kejanggalan status alumni Presiden Jokowi dalam audiensi di Universitas Gadjah Mada, 15 April 2025.
Dr. Tifa, Roy Suryo, dan Rismon Sianipar saat menyampaikan temuan-temuan mereka tentang kejanggalan administrasi di UGM terkait status alumni Presiden Joko Widodo. 


Yogyakarta, 29 April 2025 — Pada 15 April 2025, di Universitas Gadjah Mada (UGM), tiga tokoh alumni, yakni Dokter Tifa, Roy Suryo, dan Rismon Sianipar, mengungkapkan kejanggalan-kejanggalan mengenai status akademik Presiden Joko Widodo sebagai alumni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980. Ketiganya datang mewakili kelompok alumni yang ingin mengklarifikasi beberapa hal terkait dengan keabsahan status Jokowi sebagai mahasiswa dan alumni UGM.

Namun, audiensi yang semula diharapkan berjalan dengan semangat ilmiah dan terbuka, malah berubah menjadi pertemuan yang penuh dengan ketegangan dan kontroversi. "Kami mengharapkan dialog akademik yang konstruktif, namun yang terjadi justru suasana pertemuan lebih mirip ujian skripsi dengan nuansa intimidatif," ungkap Dokter Tifa dengan penuh kekecewaan.

Kehadiran yang Terbatas dan Ketidakhadiran Rektor UGM

Dalam pertemuan tersebut, hanya tiga dari lima perwakilan yang diperkenankan masuk ke ruangan kecil di Gedung Rektorat UGM. Kelima perwakilan yang semula dijadwalkan untuk hadir, tertahan karena alasan protokoler. Hal ini tentu menambah ketegangan, karena selain ketidakhadiran para perwakilan, mereka langsung dihadapkan dengan 16 orang, beberapa di antaranya mengaku sebagai teman kuliah Jokowi dari Fakultas Kehutanan angkatan 1980. Pihak UGM juga tidak menampakkan kesiapan dalam menjalankan audiensi tersebut secara terbuka.

"Kami merasa bahwa jika pertemuan ini benar-benar serius dan ingin memperjelas status Jokowi sebagai alumni UGM, maka rektor seharusnya hadir langsung. Namun, kami kecewa karena Prof. Ova Emilia, yang merupakan rektor UGM, tidak ada di tempat," ungkap Tifa. Ketidakhadiran rektor di tengah isu yang begitu besar ini memunculkan banyak pertanyaan tentang komitmen UGM terhadap transparansi.

Dokumen yang Diperlihatkan Tak Memadai

Salah satu isu utama yang disorot dalam audiensi ini adalah terkait dengan dokumen-dokumen yang seharusnya menjadi bukti kuat mengenai status akademik Jokowi. Tifa dan rekan-rekannya mendapati bahwa UGM tidak menunjukkan dokumen pendukung secara terbuka di awal pertemuan. "Kami datang dengan harapan untuk melihat bukti-bukti yang jelas, namun UGM baru menunjukkan dua dokumen pada akhir pertemuan, itu pun setelah kami desak," ungkap Tifa.

Dokumen pertama yang diperlihatkan adalah skripsi yang diklaim milik Jokowi. Dokumen kedua adalah skripsi yang disebut milik seorang teman seangkatan Jokowi. Namun, kedua dokumen tersebut menyimpan kejanggalan besar. Skripsi kedua, yang disebut milik teman seangkatan Jokowi, justru bertuliskan "tesis" di lembar pengesahannya, bukan "skripsi". Selain itu, format kedua dokumen tersebut sangat berbeda, meskipun keduanya berasal dari Fakultas Kehutanan dan angkatan yang sama.

"Sebagai alumni Fakultas Kedokteran UGM, saya tahu betul bagaimana administrasi akademik disusun dengan sangat rapi. Ini sangat jauh berbeda dengan apa yang kami temui di pertemuan tersebut," kata Tifa. Skripsi yang diklaim milik Jokowi hanya mencantumkan satu dosen penguji, sedangkan skripsi lainnya mencantumkan beberapa nama dosen penguji. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada yang tidak beres dalam administrasi akademik UGM terkait dengan status Jokowi.

Pertanyaan Mengenai KKN Jokowi

Selain dokumen-dokumen akademik, pertemuan ini juga membahas isu Kuliah Kerja Nyata (KKN) Jokowi. Salah satu orang yang mengaku sebagai teman kuliah Jokowi menyebutkan bahwa Jokowi melaksanakan KKN di Kabupaten Boyolali, daerah asal orang tuanya. "Kebetulan yang sangat janggal," ujar Tifa, yang merasa bahwa informasi tersebut mencurigakan karena Boyolali adalah kampung halaman orang tua Presiden Jokowi.

Tifa menilai bahwa UGM seharusnya bisa memberikan dokumen-dokumen yang lebih jelas terkait dengan kegiatan KKN Jokowi, seperti daftar hadir, KRS, atau dokumen administrasi lainnya yang menunjukkan bahwa Jokowi benar-benar aktif sebagai mahasiswa di UGM pada waktu itu. Namun, pihak UGM tidak dapat memperlihatkan dokumen-dokumen tersebut.

Intimidasi dan Ketegangan dalam Diskusi

Selama hampir satu jam pertemuan berlangsung, suasana semakin tegang. Sebagian besar waktu pertemuan justru dihabiskan untuk mempermasalahkan sikap Rismon Sirait, yang dianggap terlalu tegas dan intimidatif. Roy Suryo bahkan sempat ingin meninggalkan ruangan karena merasa bahwa diskusi sudah tidak kondusif lagi. "Saya merasa bahwa pertemuan ini sudah tidak fokus pada tujuan utama, yaitu membahas bukti akademik. Justru yang terjadi lebih banyak debat dan diskusi non-akademis," ungkap Tifa.

Selain itu, ketika mereka bertanya lebih lanjut mengenai dokumen ijazah Jokowi, pihak UGM hanya mengatakan bahwa ijazah asli berada di tangan Jokowi. Namun, Tifa mempertanyakan mengapa UGM tidak dapat menunjukkan salinan legalisir atau dokumen administratif lainnya. Padahal, mengingat posisi Jokowi yang pernah mencalonkan diri sebagai wali kota, gubernur, hingga presiden, seharusnya salinan legalisir ijazah itu ada dan bisa diperlihatkan.

UGM Tidak Memenuhi Janji untuk Memberikan Rekaman

Setelah pertemuan tersebut, Tifa dan timnya mengadakan konferensi pers untuk menyampaikan kejanggalan-kejanggalan yang mereka temui selama audiensi. Mereka menekankan bahwa UGM mengklaim memiliki 34 dokumen pendukung, namun pada kenyataannya hanya dua dokumen yang diperlihatkan, dan itu pun setelah dipaksa.

Selain itu, UGM juga berjanji untuk memberikan rekaman lengkap pertemuan tersebut kepada mereka. Namun, hingga saat ini, rekaman resmi belum juga diterima. "Rekaman yang beredar di media sosial hanya merupakan perekaman diam-diam yang tidak resmi dan hanya mencakup sebagian kecil dari pertemuan," kata Tifa.

Analisis Digital Forensik

Setelah pertemuan, tim alumni yang dipimpin oleh Tifa memutuskan untuk melakukan analisis digital forensik terhadap foto-foto dokumen yang mereka ambil selama audiensi. Tifa berharap analisis ini akan memberikan bukti yang lebih kuat untuk mendukung temuan mereka tentang ketidaksesuaian dokumen yang ditunjukkan oleh UGM. "Kami ingin memastikan keabsahan dan konsistensi dari data yang telah disampaikan selama audiensi," ungkap Tifa.

Kesimpulan dan Harapan ke Depan

Dokter Tifa menilai bahwa pertemuan tersebut tidak berhasil memberikan jawaban yang memadai atas pertanyaan-pertanyaan penting yang mereka ajukan. Ia mengungkapkan rasa prihatin terhadap UGM yang terkesan terpaksa menutupi sesuatu yang mungkin mereka sendiri tidak sepenuhnya ketahui. "Tidak ada kejelasan akademik, tidak ada transparansi, dan banyak hal yang justru memperkuat keraguan kami," pungkas Tifa.

Tifa dan timnya berharap agar permasalahan ini dapat segera diselesaikan dengan transparansi dan integritas akademik yang tinggi. Mereka juga menegaskan bahwa langkah ini diambil bukan untuk merusak citra UGM, tetapi untuk menjaga kredibilitas akademik dan memastikan bahwa setiap informasi yang disampaikan kepada publik adalah akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Baca juga šŸ‘‡

Kontroversi Ijazah Jokowi UGM