Jakarta, Amsor TV – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menyeret nama Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali menjadi perhatian publik. Sejumlah mantan anggota sirkus mengungkap kisah kelam yang mereka alami semasa bekerja, sebagian bahkan menyebut mengalami eksploitasi dan kekerasan sejak masih anak-anak.

Kasus pelanggaran HAM yang menyeret OCI semakin mendapat perhatian publik, dengan beberapa mantan anggota yang mengungkap kisah kelam mereka

Nama-nama seperti Vivi, Butet, dan Ida kini mencuat. Ida, salah satu korban, kini mengalami disabilitas dan harus menggunakan kursi roda. Mereka mengklaim telah bekerja di sirkus sejak akhir 1990-an, tepatnya sejak tahun 1997.

Jejak di Arsip Media Tahun 1997

Jejak digital kasus ini tidak sepenuhnya hilang. Salah satu pemberitaan dari Nova, Maret 1997 menyebutkan laporan berjudul “Komnas HAM Usut Kasus Gadis Sirkus”. Laporan ini merujuk pada penyelidikan Komnas HAM terhadap dugaan pelanggaran HAM yang dialami anak-anak yang bekerja di sirkus bersama saudara perempuannya. (26 Maret 1997)

Harian Umum & TSI

Sementara itu, Harian Umum Suara Pembaruan dalam arsip pemberitaannya mencatat bahwa Komnas HAM mendesak penyelesaian kasus ini.

Taman Safari Indonesia: “Kami Tidak Tahu”

Pihak Taman Safari Indonesia (TSI) yang disebut-sebut memiliki hubungan dengan OCI, membantah terlibat. Mereka menyatakan bahwa kebun binatang di area mereka dikelola oleh pihak ketiga dan tidak berada dalam struktur hukum. “Kami adalah entitas yang berbeda secara hukum,” ujarnya.

Taman Safari Indonesia menegaskan bahwa mereka tidak terlibat langsung dalam pengelolaan OCI dan memiliki struktur hukum yang berbeda.

Tuntutan Kompensasi: Rp3,1 Miliar

Sosial Toshi telah dikirim dua kali oleh kuasa hukum korban, menuntut kompensasi sebesar Rp3,1 miliar—Rp300 juta untuk masing-masing korban, dan Rp1 miliar untuk Ida.

OCI Menolak Tanggung Jawab

Pihak TSI menolak tuntutan itu, menyebut bahwa para korban tidak pernah terdaftar administratif di bawah perusahaan mereka.

Testimoni yang Sama-sama Kuat

Tony Suparman, salah satu pendiri OCI, membantah tudingan kekerasan ekstrem dalam pelatihan. “Kami tidak pernah menyiksa anak-anak. Jika mereka tidak mengikuti latihan, kami tegur. Kalau luka, kami obati,” katanya.

Kondisi Fisik Korban

“Saya tidak bisa melupakan saat dipaksa tampil meski dalam kondisi demam tinggi,” ujar Vivi. “Kalau tidak mau, bisa dibuat semua ribut seisi rumah sakit. Saya hanya ditarik ke dalam mobil dan diantar kembali ke lokasi.”

DPR Siapkan Mediasi

Komisi III DPR RI dijadwalkan menggelar mediasi antara korban, OCI, dan TSI pada 21 April 2025. Publik berharap mediasi ini membawa titik terang atas kasus yang tertunda selama lebih dari dua dekade.

Respons Masyarakat dan Jejak Kasus Lain

Masyarakat menunjukkan simpati terhadap korban. Banyak netizen menilai kesaksian mereka konsisten dan autentik. “Kalau bohong, pasti ada perbedaan narasi di tiap platform. Ini tidak,” ujar seorang pengguna media sosial.

Kasus ini juga mengingatkan publik pada peristiwa serupa di dunia pendidikan. [Baca juga: Kasus PPDS UNPAD dan Dugaan Pelecehan di RSHS]

Catatan Kaki:

  • Nova, Maret 1997, “Komnas HAM Usut Kasus Gadis Sirkus”
  • Harian Umum Suara Pembaruan, 1997

Penutup: Perspektif Global untuk Perlindungan Anak

Perbandingan Internasional: Penanganan Kasus Eksploitasi Anak dalam Industri Hiburan

Kasus dugaan eksploitasi anak dalam dunia hiburan, seperti yang menimpa mantan anggota Oriental Circus Indonesia (OCI), tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain juga pernah menghadapi isu serupa. Dengan membandingkan penanganan di berbagai negara, kita bisa melihat bagaimana perlindungan terhadap anak dalam industri hiburan menjadi tanggung jawab global.

Amerika Serikat: Regulasi Ketat untuk Anak di Dunia Hiburan

Di Amerika Serikat, perlindungan anak dalam industri hiburan diatur secara ketat melalui Child Performer Protection Act. Undang-undang ini mewajibkan pengawasan profesional, batas jam kerja, serta pengelolaan keuangan khusus bagi anak yang bekerja di industri hiburan. Jika terjadi pelanggaran, investigasi dapat langsung dilakukan oleh otoritas terkait.

India: Undang-Undang Perlindungan Anak dalam Sektor Hiburan

India mengandalkan POCSO Act (Protection of Children from Sexual Offences Act) untuk melindungi anak dari kekerasan dan eksploitasi, termasuk di industri hiburan seperti Bollywood. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal jam kerja panjang dan tekanan mental terhadap anak-anak yang bekerja di dunia hiburan.

Jepang: Pengawasan Ketat dan Perlindungan Psikologis

Jepang memiliki aturan ketat soal jam kerja anak di industri hiburan dan memantau kondisi kerja mereka. Namun, beberapa kasus eksploitasi tetap terjadi, khususnya dalam konteks iklan dan dunia pertunjukan. Pemerintah terus berupaya meningkatkan pengawasan agar perlindungan psikologis dan fisik anak tetap terjaga.

Inggris: Standar Tinggi dan Edukasi Publik

Di Inggris, anak-anak yang terlibat dalam industri hiburan harus terdaftar resmi, dan jam kerja mereka dibatasi. Pemerintah juga menyediakan edukasi bagi produser, orang tua, dan pihak sekolah tentang hak-hak anak dan pentingnya perlindungan dari eksploitasi. Pendapatan anak juga dikelola dalam akun yang hanya dapat diakses saat dewasa.

Pelajaran untuk Indonesia

Dengan menilik bagaimana negara lain menangani kasus eksploitasi anak dalam industri hiburan, Indonesia dapat mengambil pelajaran penting. Pendekatan regulatif yang ketat, pengawasan yang aktif, dan dukungan psikososial adalah elemen-elemen penting yang bisa diterapkan untuk memperkuat perlindungan terhadap anak, seperti dalam kasus OCI. Harapannya, tidak ada lagi anak yang menjadi korban eksploitasi dalam dunia hiburan di masa depan.