Jakarta, - Jauh sebelum dikenal sebagai Jalur Pantura, jalan utama yang membentang dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa hingga Panarukan di timur memiliki nama bersejarah: De Grote Postweg, atau dalam bahasa Indonesia disebut Jalan Raya Pos. Dibangun pada masa penjajahan Belanda, proyek jalan ini dimulai pada tahun 1808 di bawah perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, dan menjadi salah satu proyek infrastruktur paling ambisius pada zamannya.

Lukisan bergaya realis yang menggambarkan Willem Daendels dan Louis Bonaparte sebagai tokoh utama dengan latar belakang kerja paksa rakyat Jawa membangun Jalan Raya Pos pada awal abad ke-19.
Ilustrasi Willem Daendels dan Louis Bonaparte
di tengah proyek Jalan Raya Pos (Anyer–Panarukan) tahun 1808,
yang dibangun dengan sistem kerja paksa rakyat Jawa.


Pada awal abad ke-19, ketika kekuasaan kolonial Belanda berada di bawah bayang-bayang invasi Inggris, seorang tokoh penting bernama Herman Willem Daendels ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Salah satu mandat penting yang diembannya adalah membangun pertahanan kuat di Pulau Jawa. Dari misi itulah lahir proyek ambisius bernama De Grote Postweg — yang kini dikenal sebagai Jalan Raya Pos.

Jalur ini bukan sekadar jalan biasa. Ia membentang dari Anyer di ujung barat Banten hingga Panarukan di Jawa Timur, menempuh panjang lebih dari seribu kilometer. Tak hanya membelah Pulau Jawa, tapi juga membelah sejarah: antara masa sebelum dan sesudah integrasi infrastruktur besar-besaran di Hindia Belanda.

Daendels bukan tanpa inspirasi. Ia mencontoh sistem Cursus Publicus milik Kekaisaran Romawi, yakni jaringan jalan pos yang memungkinkan pergerakan pasukan dan surat-surat resmi dengan cepat antar wilayah kekuasaan. Maka, pada 5 Mei 1808, proyek jalan raya pos resmi dimulai — dengan harapan menghubungkan pusat-pusat penting seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya secara lebih efisien.

Namun, proyek ini tak bisa dilepaskan dari sisi gelapnya: kerja paksa. Ribuan orang dipaksa bekerja tanpa perlindungan yang layak. Meski sejumlah sejarawan menyatakan bahwa pemerintah kolonial menganggarkan dana untuk upah pekerja, sistem pengawasannya begitu longgar, dan celah korupsi kerap dimanfaatkan oleh para bupati setempat.

Membangun jalan sepanjang ini di tengah hutan tropis dan pegunungan jelas bukan tugas ringan. Tapi hanya dalam kurun tiga tahun, jalan sepanjang lebih dari 1.000 km itu berhasil dibuka — menjadi tulang punggung awal dari apa yang kini kita kenal sebagai Jalur Pantura.

Di balik megahnya Jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan, tersimpan cerita keras tentang bagaimana proyek ini dibangun dengan **kerja paksa**, tekanan, dan pengawasan ketat dari Daendels.

Pada 5 Mei 1808, Daendels memerintahkan pembangunan jalan dimulai dari Buitenzorg (Bogor) menuju Karangsambung, melalui rute seperti Cisarua, Cianjur, Bandung, hingga Sumedang. Dalam waktu cepat, dia mengundang 38 bupati di Jawa untuk ikut terlibat. Para bupati diberi tanggung jawab langsung membangun ruas-ruas tertentu dan mengerahkan warga lokal melalui **kerja wajib (rodi)**.

Walaupun secara formal pemerintah kolonial menganggarkan dana — sekitar **30.000 Ringgit** — untuk membayar upah pekerja dan konsumsi, sistemnya rentan penyelewengan. Para pekerja sering tidak menerima hak mereka, karena upah dikelola langsung oleh bupati. Belum ditemukan arsip resmi yang membuktikan bahwa uang itu sampai ke tangan para pekerja.

Menurut sejarawan Prof. Djoko Marihandono, pekerjaan dibagi dalam enam rute utama. Contohnya, rute Cisarua–Cianjur dikerjakan oleh 400 orang, sedangkan Bandung–Parakanmuncang hanya melibatkan 50 orang. Medan berat seperti pegunungan jelas butuh lebih banyak tenaga.

Untuk mempercepat pembangunan, jalan dibuat dengan lebar 7,5 meter dan diberi **pal batu** setiap 1506 meter sebagai penanda. Di sisi kanan-kiri jalan, dibuat selokan agar air hujan tidak merusak konstruksi. Meski teknologi saat itu sederhana, hasilnya luar biasa: jalan selesai dalam waktu **kurang dari tiga tahun**.

Daendels juga mendirikan pos-pos pengiriman surat di sepanjang jalur, yang menjadi cikal bakal sistem pos modern di Indonesia.

Namun, di balik kemegahannya, pembangunan ini menyisakan luka sejarah: banyak pekerja meninggal karena kelelahan, penyakit, dan kekurangan pangan. **Kontroversi soal upah** dan dugaan korupsi di tingkat lokal masih jadi perdebatan hingga hari ini.

fungsi strategis jalan ini — dari militer hingga ekonomi — serta dampaknya hingga masa kini.

Dibalik pembangunan yang kontroversial, Jalan Raya Pos merupakan mahakarya strategis yang menjadi tulang punggung pertahanan dan ekonomi kolonial Belanda di Jawa.

Pada awal abad ke-19, Hindia Belanda menghadapi ancaman invasi Inggris. Atas instruksi Raja Louis Bonaparte, Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos sebagai **jalur militer** yang mempercepat mobilisasi pasukan dari barat ke timur pulau Jawa.

Jalan ini memungkinkan pergerakan pasukan dan logistik dengan cepat dari Batavia ke kota-kota penting seperti Cirebon, Semarang, Surabaya, hingga Panarukan. Di titik-titik strategis, Daendels mendirikan **pos-pos pengiriman surat** sebagai alat komunikasi dan kontrol militer. Hal ini menjadikan jalan ini sebagai cikal bakal sistem komunikasi dan administrasi modern.

Namun, tak hanya untuk militer, jalan ini punya **fungsi ekonomi yang sangat besar**. Sebagai jalur utama pantai utara (Pantura), jalan ini menjadi akses pengangkutan hasil bumi seperti kopi, gula, dan rempah-rempah dari pedalaman ke pelabuhan ekspor. Wilayah yang sebelumnya terisolasi mulai terbuka dan terhubung, mendorong pertumbuhan pasar dan perdagangan.

Lebih jauh, pembangunan ini juga merupakan simbol dari **modernisasi kolonial**. Daendels ingin menunjukkan kekuatan dan efisiensi pemerintahan kolonial melalui proyek infrastruktur besar-besaran.

Di sisi lain, proyek ini juga membuka mata dunia tentang budaya **korupsi struktural** sejak masa kolonial. Dalam catatan sejarah yang dikutip dari paper *"Daendels’ Effort to Abolish Corruption"* karya Prof. Djoko Marihandono, tercatat bahwa Daendels sangat keras terhadap praktik manipulasi hasil bumi dan korupsi administrasi. Siapa pun yang merugikan negara akan dikenakan sanksi berat, dari pemecatan hingga hukuman mati — bahkan jika itu pejabat lokal.

Warisan Jalan Raya Pos Hingga Kini

Saat ini, sisa-sisa Jalan Raya Pos masih bisa ditemukan di berbagai kota. Beberapa ruas jalan bahkan masih digunakan sebagai bagian dari **Jalur Pantura**, yang menjadi nadi transportasi nasional.

Setiap harinya, jalur ini dilalui 20.000 hingga 70.000 kendaraan, baik pengangkut barang maupun penumpang. Jalur ini tetap menjadi **urat nadi ekonomi dan logistik** bagi pulau Jawa, yang memegang peran penting dalam rantai pasok nasional.

Meski lahir dari sistem kolonial yang keras dan tidak manusiawi, Jalan Raya Pos tetap meninggalkan warisan monumental yang membentuk wajah infrastruktur Indonesia hingga hari ini.