**Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu Indramayu: Komunitas Kepercayaan yang Menjunjung Harmoni Alam dan Spiritualitas**
Kegiatan Dayak Losarang Indramayu |
Jika mendengar kata "suku Dayak," kebanyakan orang akan langsung mengaitkannya dengan suku Dayak di Pulau Kalimantan. Namun, tahukah Anda bahwa di Indramayu, Jawa Barat, terdapat sebuah komunitas kepercayaan yang juga dikenal sebagai Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu Indramayu? Komunitas ini memiliki ajaran dan nilai-nilai unik yang berakar pada spiritualitas, penghormatan terhadap perempuan, dan kehidupan yang selaras dengan alam.
### **Filosofi Hidup: Back to Nature**
Salah satu prinsip utama yang dipegang teguh oleh komunitas ini adalah konsep "Back to Nature," yang berarti hidup selaras dengan alam sebagai inti dari eksistensi manusia. Siklus hidup mereka terbagi menjadi dua fase: empat bulan dalam setahun digunakan untuk menjalankan ritual kepercayaan, sedangkan delapan bulan berikutnya digunakan untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarga, serta berbagi dengan sesama. Dengan cara hidup sederhana dan nilai-nilai mendalam yang mereka junjung, komunitas ini tetap bertahan meskipun sering menghadapi stigma dari masyarakat modern. Bagi mereka, hidup harmonis dengan alam dan menjaga kebersamaan dalam komunitas adalah makna kehidupan sejati.
### **Identitas dan Keunikan dalam Berpakaian**
Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu Indramayu, yang juga dikenal sebagai Suku Dayak Losarang atau Suku Dayak Kemat, merupakan komunitas lokal yang berdomisili di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Secara administratif, mereka tidak memiliki identitas legal seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan tidak menganut salah satu agama yang diakui oleh negara. Namun, hal ini bukan berarti mereka menentang negara atau pemerintah. Sebaliknya, mereka tetap menganggap diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia, hanya saja memiliki pandangan hidup yang berbeda.
Salah satu ciri khas yang menonjol dari komunitas ini adalah cara berpakaian mereka. Para anggota komunitas lebih memilih tampil sederhana dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek berwarna hitam-putih. Warna ini memiliki makna simbolis, melambangkan keseimbangan kehidupan antara terang dan gelap, baik dan buruk, yang mereka yakini sebagai bagian dari harmoni alam semesta. Selain itu, mereka juga menggunakan aksesoris yang terbuat dari bahan alami seperti kayu dan bambu, yang semakin mempertegas kedekatan mereka dengan alam serta mencerminkan filosofi kesederhanaan hidup.
Namun, cara berpakaian unik ini seringkali menimbulkan stigma di masyarakat modern. Tidak sedikit yang menganggap mereka sebagai orang yang "tidak waras" karena tampilannya yang berbeda dari norma berpakaian umum. Stigma ini mencerminkan adanya kesenjangan pemahaman antara komunitas kepercayaan ini dengan masyarakat luas yang telah terbiasa dengan gaya hidup modern. Meski demikian, bagi anggota komunitas, cara berpakaian mereka bukan sekadar penampilan luar, melainkan manifestasi dari nilai-nilai spiritual yang mereka pegang teguh.
### **Akar Filosofis dan Makna Nama**
Meskipun menggunakan nama "Dayak," komunitas ini tidak memiliki hubungan langsung dengan suku Dayak asli di Kalimantan. Nama "Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu Indramayu" memiliki makna filosofis yang mencerminkan ajaran mereka:
- **Suku** berarti "kaki," melambangkan perjalanan hidup manusia menuju tujuannya.
- **Dayak** berasal dari kata "Ay" atau "Ngayak," yang berarti "menyaring atau memilah," mengajarkan pentingnya membedakan yang baik dan benar dalam hidup.
- **Hindu** melambangkan kelahiran manusia dari rahim seorang ibu sebagai asal mula kehidupan.
- **Buddha** berasal dari kata "Wudha," yang berarti "telanjang," melambangkan kemurnian dan kesederhanaan.
- **Indramayu** terdiri dari tiga unsur: "In" berarti inti, "Dharma" berarti orang tua, dan "Ayu" berarti perempuan. Filosofi ini menekankan penghormatan terhadap perempuan sebagai sumber kehidupan.
### **Peran Perempuan dan Kesetaraan Gender**
Dalam komunitas ini, perempuan memiliki posisi yang sangat dihormati. Mereka dianggap sebagai sumber kehidupan dan memiliki martabat yang tinggi. Para pria dalam komunitas ini mengabdikan diri kepada perempuan, baik itu ibu, istri, maupun anak perempuan mereka. Mereka percaya bahwa tugas laki-laki adalah mendukung dan melayani perempuan sebagai bentuk penghormatan atas peran penting mereka dalam kehidupan.
Anak-anak juga mendapatkan tempat istimewa dalam komunitas ini. Keluguan dan kepolosan mereka dianggap sebagai manifestasi kemurnian, sehingga segala perkataan dan tindakan anak-anak dipandang sebagai sesuatu yang patut dihargai. Dalam kehidupan sehari-hari, para pria menjalani peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga, yang mencerminkan kesetaraan gender dalam komunitas.
### **Ritual Spiritual dan Penguatan Nilai Tradisional**
Sejak akhir 1990-an, komunitas ini mulai menunjukkan eksistensinya kepada masyarakat luas. Mereka menyebut ajaran mereka sebagai "Agama Jawa," yang mencerminkan upaya mereka dalam menggali kembali akar budaya dan spiritualitas masyarakat Jawa. Mereka percaya bahwa agama-agama besar yang saat ini dominan telah kehilangan kemurniannya akibat pengaruh kepentingan individu dan materialisme.
Salah satu ritual unik yang mereka jalankan adalah **Kumkum** atau **rendaman**, yaitu merendam diri di sungai pada malam hari sebagai bentuk latihan kesabaran dan penguatan hubungan spiritual dengan alam. Ritual ini berlangsung selama empat bulan setiap tahunnya, dimulai dari pukul 23.00 hingga pagi. Setelah itu, mereka melakukan **mepe** atau berjemur di bawah sinar matahari hingga pakaian mereka benar-benar kering. Rangkaian ritual ini dianggap sebagai proses pembersihan jiwa dan simbolisasi kelahiran kembali dengan hati yang lebih bersih dan pikiran yang lebih tenang.
### **Kesimpulan**
Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu Indramayu adalah komunitas yang unik dengan nilai-nilai spiritual mendalam. Mereka menjalani hidup dengan filosofi "Back to Nature," menjunjung tinggi kesederhanaan, keseimbangan alam, serta penghormatan terhadap perempuan dan anak-anak. Meskipun kerap menghadapi stigma dari masyarakat modern, mereka tetap teguh pada keyakinannya dan menawarkan sudut pandang alternatif terhadap kehidupan. Dengan praktik ritual dan kehidupan yang mereka jalani, komunitas ini menjadi cerminan bagaimana manusia bisa hidup selaras dengan alam sambil mempertahankan nilai-nilai spiritual leluhur mereka.
Tidak ada komentar
Posting Komentar