
Warga Desa Marada, Dusun Nangasia, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, digemparkan oleh peristiwa pembunuhan tragis yang terjadi pada Sabtu pagi. Seorang pria berinisial Rahi (34) tega menghabisi nyawa istrinya, Yuni alias Rawi Weina (29), yang baru saja melahirkan dua minggu lalu. Motif di balik tindakan ini diduga kuat berkaitan dengan persoalan utang yang disebarluaskan di media sosial, sehingga membuat pelaku merasa malu dan mengalami tekanan mental.
Peristiwa ini menambah deretan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada kematian, dan memperlihatkan betapa rentannya relasi keluarga saat dihadapkan pada tekanan sosial dan ekonomi, terlebih ketika media sosial turut memperkeruh keadaan.
Utang yang Diviralkan, Harga Diri yang Terkoyak
Menurut informasi dari warga sekitar, peristiwa ini bermula dari utang korban kepada seseorang yang tidak disebutkan namanya. Utang tersebut kemudian dipublikasikan di media sosial oleh pihak penagih sebagai bentuk tekanan agar segera dilunasi. Nama dan foto korban tersebar luas di komunitas lokal bahkan hingga luar daerah.
Nama Rawi Weina menjadi bahan perbincangan di grup WhatsApp dan Facebook. Bagi suaminya, Rahi, ini menjadi tamparan berat terhadap harga dirinya sebagai kepala keluarga. Ia merasa gagal melindungi nama baik keluarga.
"Rahi merasa malu dan marah karena istrinya viral gara-gara utang. Apalagi ia dikenal sebagai orang pendiam yang jarang terlibat masalah di kampung," ujar salah satu tetangga yang enggan disebutkan namanya.
Situasi memanas saat pasangan tersebut terlibat pertengkaran hebat di pagi hari. Korban sempat menjelaskan niat melunasi utangnya, namun emosi Rahi tak terbendung.
"Dia mungkin merasa tertekan. Tapi tidak seharusnya masalah rumah tangga diakhiri dengan kekerasan. Apalagi sampai menghilangkan nyawa," tambah warga tersebut.
Pembunuhan Saat Sang Istri Masih Masa Nifas
Yang membuat peristiwa ini semakin menyayat hati adalah kenyataan bahwa korban baru melahirkan anak keduanya dua minggu lalu dan masih dalam masa pemulihan. Sayangnya, nyawanya justru melayang di tangan suaminya sendiri.
Menurut keterangan Polsek Hu’u, korban ditemukan dalam kondisi luka parah akibat benda tumpul dan mengalami pendarahan hebat. Tim medis menyatakan korban meninggal di tempat. Pelaku sempat melarikan diri ke pegunungan, namun berhasil diamankan dalam waktu kurang dari 24 jam.
Kapolsek Hu’u, AKP Ahmad Mustari, menyampaikan bahwa motif utama pembunuhan diduga karena tekanan psikologis setelah istri dipermalukan di media sosial terkait utang. Pihak kepolisian kini juga menyelidiki apakah unggahan tersebut melanggar UU ITE atau termasuk pencemaran nama baik.
Media Sosial dan Budaya ‘Viral’: Ketika Tekanan Melebihi Batas
Kasus ini membuka kembali diskusi mengenai bahaya budaya “memviralkan” seseorang sebagai bentuk tekanan sosial. Meski sering dianggap sebagai cara efektif mempermalukan pelaku pelanggaran, tindakan ini kerap menimbulkan dampak psikologis yang sangat berat.
Dalam kasus Rawi Weina, penyebaran utangnya di media sosial bukan hanya mempermalukan dirinya, tetapi juga menghancurkan kondisi emosional keluarga. Dalam konteks utang-piutang, keterlambatan pembayaran seringkali disebabkan kondisi ekonomi yang sulit, bukan karena niat jahat.
"Banyak orang tidak sadar bahwa ketika kita viralkan orang lain karena utang, ada konsekuensi besar di baliknya. Tidak semua orang siap menerima tekanan sosial seperti itu," ujar tokoh masyarakat Dompu, Haji Syahril.
Ia mengingatkan pentingnya etika bermedia sosial dan tidak mengumbar masalah pribadi orang lain, terlebih jika bisa memicu konflik yang lebih besar.
Tanggapan Masyarakat dan Pemerintah Setempat
Kepala Desa Marada, La Ode Rahmat, menyampaikan keprihatinannya atas tragedi ini. Ia menilai bahwa keluarga korban merupakan warga biasa yang tidak pernah terlibat persoalan mencolok sebelumnya.
"Ini menjadi pelajaran pahit bagi kita semua. Tekanan ekonomi, jika tidak dikelola dengan bijak, bisa menjadi bencana. Terlebih ketika media sosial dijadikan alat penghukuman moral," ujarnya.
Ia mengimbau warganya untuk menyelesaikan masalah utang secara musyawarah dan tidak serta-merta menyebarkannya di media sosial.
Pemerintah Kabupaten Dompu juga menyampaikan belasungkawa. Dinas Sosial berkomitmen memberikan pendampingan bagi anak-anak korban, termasuk bantuan psikologis dan kebutuhan dasar.
"Kami akan pastikan anak-anak korban tetap dalam pengawasan yang aman dan tidak mengalami trauma berkepanjangan," ujar Kepala Dinas Sosial, Nurhayati.
Penutup: Tragedi yang Seharusnya Tak Terjadi
Tragedi di Desa Marada ini menjadi pengingat bahwa masalah pribadi seperti utang seharusnya diselesaikan secara bijak dan tidak dijadikan konsumsi publik di media sosial. Upaya menagih secara terbuka mungkin dimaksudkan sebagai tekanan moral, namun bisa berdampak fatal bagi psikologis seseorang.
Masyarakat dan pengguna media sosial diimbau untuk lebih bijak, terutama saat menyentuh isu sensitif seperti utang. Tidak semua orang kuat menghadapi tekanan publik, apalagi bila menyangkut harga diri dan kehormatan keluarga.
Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bahwa tidak semua hal pantas untuk diviralkan. Kadang, diam dan menyelesaikan persoalan secara langsung jauh lebih menyelamatkan daripada jari yang cepat mengetik namun tak tahu akibatnya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar